2/08/2007

Resistensi HIV Ancam ODHA Bali

Resistensi HIV Ancam ODHA Bali

[Anton Muhajir, angota Komunitas Jurnalis Peduli AIDS Bali]

Tak hanya mata, masa depan Agung sebagai ODHA pun makin gelap.

Pandangan Agung, 34 tahun, makin samar. Mata kanannya sudah tak bisa dipakai melihat sama sekali. Mata kirinya makin dipenuhi titik hitam. Padahal pekerjaan bapak satu anak ini tergantung pada mata, selain kemampuan menyetir. Tiap hari Agung mengemudikan truk tangki bensin 5000 liter dari Pesanggaran, Denpasar Selatan ke berbagai industri pelanggannya. Tapi melihat benda berjarak lebih dari lima meter pun kini dia tak bisa melakukannya dengan baik. Dua bulan lalu dia pindah ke kursi sebelah, sebagai kernet. “Itu pun sering tak masuk,” katanya.

Agung mulai merasakan ada masalah di matanya sejak tiga bulan lalu. Menurut dokter yang memeriksanya, Agung terserang cytomegalovirus (CMV). CMV temasuk salah satu infeksi oportunistik (IO) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Agung positif human immunodeficiency virus (HIV), virus penyebab acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, akibat perilakunya bergantian jarum ketika masih aktif menggunakan narkoba.

Menurut teori, setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, IO akan dengan mudah menyerang ODHA. Salah satunya CMV yang menyerang bagian tubuh terutama mata dan mengakibatkan radang pada retina mata. Jika tidak segera ditangani, CMV dapat menyebabkan kebutaan total. Agung belum pada kondisi ini. Dia masih bisa melihat dengan mata kirinya meski kini penuh titik hitam yang terus bergerak. Tapi dia sudah pasrah. “Mau apa lagi?” ujarnya.

CMV menyerang mata pada ODHA dengan jumlah sel darah putih yang menunjukkan sistem kekebalan (CD4) di bawah 100. Berdasarkan tes terakhir, CD4 Agung hanya 19. Padahal pada orang normal CD4 berkisar antara 500 hingga 1.600. Rendahnya CD4 di tubuh Agung membuatnya rentan terkena IO. Dia pernah kena penyakit tuberculosis (TBC). Luka bekas operasi kelenjar TB di lehernya masih terlihat. Saat ini, selain CMV, dia juga terserang jamur (candidiasis). Sepanjang lengan dan sebagian wajahnya terlihat bercak putih. Dia berkali-kali menggaruknya.

Untuk menghindari terjadinya infeksi oportunistik, ODHA biasa minum anti-retroviral (ARV). Obat ini berfungsi menekan laju replikasi HIV di dalam tubuh. Agung sudah minum ARV sejak April 2004. Ketika mulai terapi, Agung minum duviral dan neviral. Tapi karena masih mengalami candidia, sejak enam bulan lalu, dokter menyarankan dia mengganti dua jenis tersebut dengan stavudin, nevirapin, dan lamivudin.

Menurut Yusuf Rey Noldy, konselor di Bali, agar terapi ARV berjalan optimal, ODHA harus patuh minum obat. Kepatuhan ini dilihat dari waktu minum obat yang harus tepat. Misalnya biasa minum obat pukul 9 pagi dan malam, maka tiap hari harus minum obat pada waktu yang sama. Selain waktu yang sama, obat ini juga harus diminum seumur hidup. Kalau pindah waktu minum atau lupa minum satu hari, maka ARV tidak akan berfungsi optimal menekan virus. Malah, HIV di dalam tubuh ODHA bisa resisten, kebal dengan ARV yang diminumnya.

Agung sudah berusaha agar tidak terlambat minum tiga pil tersebut. Selain dengan alarm di handphone, anak dan istrinya pun selalu mengingatkan waktu minum obat. Toh, meski sudah patuh, resistensi virus masih mengancamnya. “Mungkin karena telat minum obat,” Agung menduga. Dia sendiri mulai minum ARV setelah operasi TB kelenjar, salah satu infeksi oportunistik. Sebelum terserang TB kelenjar, dia tidak sadar kalau di tubuhnya ada HIV, bahkan sudah pada fase AIDS.

Agung tak sendiri. Frans, 30 tahun, mengalami hal yang sama. Mantan injecting drugs user (IDU) ini pun kemungkinan mengalami resistensi virus. Karena tahu positif HIV, Frans minum ARV sejak 2003. “Empat tahun pakai ARV, hasilnya tidak jelas,” katanya.
Tidak jelasnya hasil terapi itu bisa dilihat dari CD4 Frans. Menurut teori, terapi ARV berhasil ditandai dengan kenaikan CD4. Tapi terakhir kali cek ternyata CD4 Frans malah turun jadi 117 dari yang sebelumnya 172.

Selain melalui CD4, keberhasilan terapi ARV juga dilihat dari turunnya jumlah virus di darah atau viral load. Viral load di Frans memang pernah turun, dari 750 ribu copy jadi 85 ribu copy. Tapi terakhir tes, viral load-nya naik lagi jadi 120 ribu. Karena itulah Frans sangat yakin dia mengalami resistensi. “Padahal aku sudah patuh minum ARV,” ujar Frans yang juga konselor ini.

Frans mengaku pernah satu dua kali telat minum ARV. Tapi tak lama. Paling dari yang seharusnya pukul 7 pagi dia minum pukul dua jam kemudian. Itu pun, lanjutnya, hanya tiga atau empat kali selama empat tahun minum ARV.

Untungnya secara fisik Frans belum pernah –,”Dan semoga tidak,” katanya- mengalami infeksi oportunistik. “Paling ya flu ringan dan batuk-batuk. Itu kan biasa,” tambahnya. Berat badannya pun naik. Tapi resistensi toh masih mengancam Frans dan ribuan ODHA lain di Bali.

Menurut Yusuf Rey Noldy, juga petugas lapangan (PL) lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di kalangan IDU Yayasan Hatihati, resistensi bisa terjadi jika tidak ada respon terhadap penyakit maupun virus di tubuh ODHA yang ikut terapi ARV. Misalnya masih muncul IO meski sudah minum ARV, seperti terjadi pada Agung.

Resistensi terjadi akibat dua hal. Pertama akibat ketidakpatuhan ODHA minum ARV. Kepatuhan ini mulai ketepatan waktu minum ARV dan kemauan minum ARV selama hidup. “Sekali saja ODHA itu tidak minum ARV, maka ada kemungkinan virus di tubuhnya akan resisten,” kata Noldy. Pelanggaran terhadap kepatuhan ini terjadi akibat ketidaktahuan, ODHA bosan minum ARV, atau karena efek samping ARV.

Kedua resistensi juga bisa terjadi jika ODHA terinfeksi virus yang sudah resisten. Jadi ada virus yang sudah resisten pada satu ODHA lalu virus tersebut ditularkan pada orang lain. Virus di tubuh ODHA itu sudah jadi mutan sehingga imun (kebal) pada ARV yang diminum. Namun untuk tahu obat mana yang tidak berpengaruh pada HIV di tubuh, jalan satu-satunya adalah tes resistensi.

Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum punya fasilitas tes resistensi. Eri, 40 tahun, ODHA lain di Bali, harus mengirim sampel darahnya ke Australia untuk tahu apakah dia resisten atau tidak. Biayanya pun hingga Rp 4 juta sekali tes. Hasilnya, virus di tubuh staf yayasan penanggulangan AIDS di Denpasar ini memang imun pada nevirapine dan sidovudine, dua dari tiga obat yang diminumnya sejak dua tahun lalu.

Seperti halnya HIV dan AIDS itu sendiri, resistensi pada ODHA pun bisa jadi adalah fenomena gunung es. Kasus yang muncul hanya puncak yang terlihat dari kondisi nyata di bawahnya. Eri beruntung karena bisa melakukan tes resistensi sehingga bisa terlihat kalau dia mengalami resistensi HIV. Agung dan Frans masih menduga-duga meski kemungkinan resisten pada mereka juga besar. Tapi bisa jadi 4000 ODHA di Bali, berdasarkan estimasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali Desember 2006 lalu, juga mengalami ancaman yang sama.

Hal ini bisa dilihat dari ODHA yang berhenti ikut terapi ARV. Misalnya Ariawan, 41 tahun. Sejak Februari tahun lalu Ariawan berhenti minum ARV. Padahal dia sadar betul dengan risiko resistensi yang akan dihadapinya. Ariawan berhenti minum ARV karena merasa tidak kuat dengan efek samping. Delapan bulan setelah mulai terapi sejak September 2004, dia mulai merasa kurang darah. Hemoglobin, sel darah merahnya, jadi delapan dari yang sebelumnya 13. Dia pun berganti obat.

Namun meski sudah berganti obat, Ariawan masih merasakan efek samping. Kali ini dia sampai tidak bisa menggerakkan kaki saking kakunya. Dia kena kram (neuropati) pada kaki. Tiap bangun tidur, kakinya kesemutan. “Kalau digerakkan sakitnya bukan main,” akunya. Ariawan yang belajar banyak soal efek samping ARV itu sadar kalau terancam efek samping permanen. Dia pun memutuskan berhenti minum ARV. “Ini keputusanku. Aku siap dengan risikonya,” kata Ariawan.

Ariawan hanya satu dari belasan ODHA yang sudah berhenti terapi ARV. Menurut data Klinik voluntary, counseling, and testing (VCT) Rumah Sakit Sanglah Denpasar, hingga Januari lalu 23 ODHA sudah tak lagi minum ARV, 19 orang tak pernah mengambil ARV sedangkan empat lainnya memang mengaku berhenti minum ARV. Ada yang bosan ikut terapi. Ada yang tidak kuat efek samping. Ada pula yang mencoba obat alternatif.

Untunglah, meski sudah punya gejala resistensi, Agung dan Frans masih terus minum ARV. Mereka tak menyerah pada ancaman virus yang imun. “Saya hanya tidak mau orang lain mengalami resistensi seperti saya,” kata Agung.

Di kalangan LSM penanggulangan AIDS di Bali, resistensi memang sudah jadi bahan diskusi beberapa kali meski secara informal. Namun belum ada langkah antisipasi pada ancaman resistensi. Bali+, sebagai kelompok dukungan bagi ODHA di Bali, misalnya sampai saat ini belum pernah menindaklanjuti laporan adanya ancaman ini. “Memang sudah ada laporan, tapi kami belum pernah membicarakan di Bali Plus,” jawab Kadek Dharmawan, staf Bagian Pendampingan ODHA Bali+ ketika ditanya masalah resistensi.

Jawaban yang sama didapat Agung ketika dia menyampaikan masalah resistensi tersebut pada aktivis LSM lain di Bali. Padahal, menurut Agung, LSM seharusnya membantu dia sebagai ODHA. “Saya ingin teman-teman di yayasan bisa memperjuangkan adanya tes resistensi bagi ODHA. Tidak hanya sibuk dengan proyek yang mengatasnamakan ODHA tapi mereka sendiri yang menikmati hasilnya,” harap Agung.

Menanggapi keluhan tersebut Tuti Parwati, Koordinator Care, Support, and Treatment (CST) KPA Bali sudah berusaha mengantisipasi. Tuti, dokter penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali pada 1987, mengaku sudah mendapat laporan dari pasien maupun ODHA lain di Bali tentang ancaman resistensi tersebut. “Karena itu KPA Bali dan KPA Nasional sudah berkoordinasi dengan lembaga penelitian mikrobiologi di Jakarta yang meneliti masalah resistensi,” katanya.

Selain itu, lanjut dokter spesialis penyakit dalam itu, KPA Bali juga sudah mengajukan proposal agar ada yang bersedia memberikan tes resistensi gratis bagi ODHA. “Kalau KPA Bali yang mebiayai, aduh, itu besar sekali,” ujar Tuti.

Sambil menunggu proposal itu disetujui, Agung dan ODHA lain tetap harus berjuang sendiri menghadapi ancaman resistensi. [***]

-versi bahasa Inggris tulisan ini, dengan editing di beberapa bagian, dimuat The Jakarta Post [8/2].

1/31/2007

Perlunya Tes Resistensi bagi ODHA

Perlunya Tes Resistensi bagi ODHA

[Yusuf Rey Noldy, konselor, anggota Ikatan Korban Napza (IKON) Bali]

Salah satu orang dengan HIV/AIDS (Odha) terkejut melihat hasil tes kekebalan tubuh (CD4) dan hasil tes viral load, yang mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Hasil tes CD4-nya tidak menunjukkan peningkatan. Hasil tes viral load juga tinggi, di atas 10 ribu copy. Dia sangat terkejut. Sebab dia telah ikut terapi anti-retroviral (ARV) kurang lebih tiga tahun.

Secara teori, terapi ARV dianggap berhasil jika jumlah kekebalan tubuh Odha meningkat dan jumlah viral load dalam tubuh tidak terdeteksi. Tapi teman itu tidak. Dia malah mengalami penurunan CD4 dan peningkatan viral load. Apa sebenarnya yang terjadi pada teman Odha ini? Apakah virus di tubuhnya mengalami resistensi atau kebal terhadap salah satu jenis obat? Atau bahkan resisten terhadap tiga jenis obat?

Tentunya ini menjadi pertanyaan bagi teman Odha tersebut. Kalau pun obat ini resisten terhadap virus di dalam tubuhnya, apakah obat yang sudah jelas tidak menunjukkan hasil yang baik harus tetap aku minum? Apakah tidak ada efek yang negatif apabila dia terus mengkonsumsi obat yang sudah jelas tidak memberikan hasil baik pada hasil tes yang telah dia jalani?

Beberapa faktor penyebab resistenai adalah ketidakpatuhan Odha mengkonsumsi ARV, ketidakpahaman Odha akan terapi ARV yang seharusnya dikonsumsi seumur hidup, serta Odha tersebut terinfeksi virus HIV yang sudah resisten. Untuk mengetahui apakah Odha tersebut resisten terhadap obat ARV hanya bisa dipastikan melalui tes resisten.

Sayangnya tes resistansi belum tersedia di Indonesia. Tes resisten hanya ada di negara maju. Harganya pun masih sangat mahal. Tentunya ini menjadi bahan pertanyaan bagi teman-teman Odha, apakah pihak layanan kesehatan tidak menganggap bahwa resistensi pada terapi ARV bukan satu masalah yang harus disikapi?

Di salah satu media nasional yang terbit pada 19 Desember 2006, Samsuridjal Djauzi dari Kelompok Diskusi Khusus AIDS FKUI/RSCM, menyatakan pencapaian CST (care, support and treatment) di Indonesia menggembirakan. Saat ini ada 260 tempat layanan tes HIV sukarela (voluntary counselling and testing/VCT), obat ARV juga mendapat subsidi penuh, bahkan ARV lini kedua untuk Odha yang mengalami resistensi obat sudah tersedia. Obat anti jamur yang cukup mahal juga tersedia gratis. Jumlah pengguna ARV tercatat 8.000 orang di seluruh Indonesia.

Namun sudahkah pemerintah atau pihak terkait penanggulangan AIDS di negeri ini sudah mengantisipasi persoalan resistensi tesebut. Misalnya bagaimana menentukan terapi gagal? Dengan tidak tersedianya tes resistensi di Indonesia, adakah cara lain untuk mengetahui secara pasti bahwa Odha tersebut resisten terhadap terapi yang sedang dijalankannya? Bagaimanakah cara untuk mendapatkan obat ARV lini kedua? Sebab, katanya, obat ARV lini kedua sudah tersedia di Indonesia. Bagaimana dengan tindak lanjut pada teman Odha yang sampai saat ini belum mendapatkan kepastian apakah terapi ARV yang dijalankannya gagal? Kalau pun teman Odha ini harus mengganti obat yang dinilai gagal, bagaimana cara mengaksesnya?

Kasus yang terjadi pada Odha yang kemungkinan mengalami resistensi itu hanya satu dari banyak kasus. Di luar sana mungkin banyak teman Odha yang resisten terhadap obat ARV lini pertama. Artinya tes resistensi di Indonesia sudah diperlukan sebab sudah ada 8000 orang menggunakan ARV. Apakah 8000 orang yang mengakses ARV tersebut sudah mendapat jaminan bahwa mereka tidak mengalami resisten?

Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa terimakasih pada pemerintah maupun pihak lainnya yang sudah mendukung dan menyediakan obat ARV, sepertinya kita harus memikirkan lebih serius, sudah saatnya di Indonesia diperlukan adanya peralatan tes resistensi untuk mendukung program 3 by 5 yang sudah dicanagkan pemerintah. Semoga ini bisa menjadi bahan refleksi bahwa semakin banyak Odha yang mengakses ARV, kemungkinan yang resisten juga sangat makin banyak. Bagaimana tindakan pihak penyedia layanan? Apakah kita menunggu semakin banyak teman Odha yang mengalami resisten baru kita bertindak? [***]

1/30/2007

Mengubah Persepsi untuk Membendung HIV

Mengubah Persepsi untuk Membendung HIV

[Anton Muhajir, anggota Komunitas Jurnalis Peduli AIDS Bali]

Bagi sebagian besar orang, terutama yang melihat dari kaca mata moral, kegiatan Wayan Sarijo mungkin dipandang negatif. Sehari-hari, bapak empat anak ini mengelola kamar di rumahnya sebagai tempat prostitusi. Wayan Sarijo salah satu dari sekitar sebelas germo di Desa Pengulon, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Empat kamar di rumahnya tak jauh dari Pelabuhan Celukan Bawang jadi tempat transaksi hubungan seks.

Tapi marilah kita melihat dari persepktif lain. “Saya melakukan itu justru agar laki-laki yang baru selesai berlayar tidak masuk ke desa untuk mencari cewek,” kata Sarijo akhir Desember lalu. Apa yang dilakukan Sarijo ternyata malah untuk melindungi desanya agar tidak dijadikan pelayar untuk memuaskan berahi. Dulu, sebelum Sarijo dan germo lain menyediakan kamar untuk tempat transaksi seks, pelayar sering datang ke desa. Kini, tak ada lagi pelayar masuk ke desa untuk mencari cewek.

Dari sisi lain, penyediaan tempat transaksi seks itu juga memudahkan penanggulangan HIV dan AIDS. Hubungan seksual berganti pasangan tanpa menggunakan kondom adalah salah satu penyebab penularan human immunodeficiacny virus (HIV), virus penyebab acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh. Hingga Oktober 2006 lalu dari 1220 jumlah kasus HIV dan AIDS di Bali 38 persen terjadi akibat hubungan seks. Kasus terbesar masih dari pengguna narkoba suntik (44,5 persen).

Penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian adalah cara penularan HIV yang lain. Selain itu penularan HIV bisa terjadi dari ibu pada anaknya saat melahirkan atau ketika menyusui. Namun, di Bali, maupun Indonesia umumnya, penularan terbesar masih terjadi dari penggunaan jarum suntik tidak steril dan hubungan seksual tanpa kondom itu tadi.

Karena itu, germo berperan dalam pencegahan penularan HIV. Sebagai pengelola tempat transaksi seks, mereka bisa melakukan intervensi langsung pada pekerja seks komersial (PSK) yang mereka bina. Sarijo dan germo lain pun melakukan pencegahan ini. “Kami selalu menyarankan agar PSK menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks,” kata Sarijo. Tujuannya untuk menghindari penularan infeksi seksual menular (IMS), termasuk HIV itu tadi.

Kesadaran itu muncul setelah Sarijo dan germo lain di Pengulon mendapat penjangkauan dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga penanggulangan AIDS di Bali yang memang menyasar desa-desa sebagai lokasi penjangkauan. Pelan-pelan germo di Pengulon pun mulai tahu tentang IMS serta HIV dan AIDS. Tidak hanya menyarankan pada PSK agar menggunakan kondom, secara rutin pun mereka memeriksa kesehatan PSK tiap bulan.

Tes kesehatan itu dilakukan di Klinik IMS Keliling milik Puskesmas II Gerokgak. Menurut I Gusti Ngurah Anom Supradnya, dokter di Puskesmas II Gerokgak, IMS yang banyak terjadi adalah GO. “Sampai saat ini belum ditemukan kasus HIV di Pengulon,” kata dokter kelahiran 24 Mei 1973 ini.

Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali Kesuma Kelakan mendukung usaha yang dilakukan Sarijo dan germo lain di Pengulon dalam penanggulangan AIDS tersebut. “Ini tidak berarti mendukung prostitusi. Mari kita lihat masalah ini dari sudut pandang kesehatan. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk mencegah dampak lebih buruk yaitu makin menularnya HIV pada orang lain,” kata Alit ketika berkunjung ke Pengulon bersama pejabat terkait dari Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Buleleng.

Pemprov Bali sendiri telah mengesahkan Komitmen Sanur pada 7 Mei 2004 lalu yang salah satu isi komitmen tersebut adalah meningkatkan penggunaan kondom pada setiap aktifitas seksual berisiko dengan target 60 persen pada akhir tahun 2005 dan menjadi 80 persen pada akhir tahun 2007. Perda No 3 tahun 2006 tentang penangulangan AIDS pun mengakui perlunya penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV.

Tapi ya sayangnya masih banyak orang melihat masalah HIV dan AIDS itu dari kaca mata kuda. Membicarakan kondom sebagai alat pencegahan, misalnya, masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Karena itu sudah saatnya kita mengubah sudut pandang. Mari melihat masalah ini dari sudut pandang kesehatan. Kalau kita bisa mencegahnya, kenapa tidak dilakukan? [***]

1/23/2007

Meningkatkan Pengetahuan Lewat Study Club

Meningkatkan Pengetahuan Lewat Study Club

[Asep Hidayat, anggota Kelompok Dukungan Sebaya Addict+]

Untuk memahami dan meningkatkan pengetahuan HIV dan AIDS serta isu-isu kesehatan lainnya, beberapa orang dengan HIV dan AIDS (Odha) saat ini rutin mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas diri melalui kegiatan Study Club. Kegiatan di lembaga dukungan bagi Odha Yayasan Bali + ini diadakah setiap Rabu sore. Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan Odha tentang masalah kesehatan, sekaligus menerapkan ilmu yang mereka dapat dalam menjalani hidup dengan human immunodeiciancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immuno deficiancy syndrome (AIDS).

Mengingat banyaknya masalah kesehatan bagi Odha, misalnya ketika mengalami efek samping saat menjalankan terapi anti-retroviral (ARV), maka, kegiatan seperti ini sangat penting untuk dilaksanakan oleh orang yang mempunyai masalah dengan kesehatannya khususnya Odha.

Beberapa peserta aktif dalam pertemuan ini mengaku setelah beberapa kali mengikuti Study Club mereka lebih paham mengenai kondisi kesehatannya sendiri. Banyak juga peserta berpendapat bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menghadapi berbagai gangguan kesehatan akibat dari HIV dan efek samping obat.

Kegiatan ini sebetulnya bisa diikuti oleh siapa saja yang memang butuh informasi tentang HIV dan AIDS serta isu-isu kesehatan lainnya. Sayangnya peserta Study Club termasuk sedikit. Odha yang datang tak sampai sepuluh orang. Padahal harapannya semua orang yang terkena dampak langsung HIV maupun Odha bisa hadir dalam kegiatan ini. Namun terlepas dari semua, kembali lagi kepada masing-masing orang. Sebab tiap orang pasti mempunyai kebutuhan masing-masing. Mungkin mereka yang tidak datang punya alasan tersendiri.

Pertemuan selama satu hingga dua jam ini banyak membahas teknis penerapan kesehatan bagi Odha. Misalnya, menghadapi efek samping, mengenal gejala-gejala awal infeksi oportunistik (kumpulan gejala penyakit yang diakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan HIV), kebutuhan asupan gizi, kesehatan reproduksi, dan tempat tempat layanan rujukan kesehatan bagi Odha. Sehingga semua peserta lebih mengetahui tindakan apa yang harus mereka lakukan jika mengalami gangguan kesehatan.

Chika (23 tahun), pasangan Odha, mengaku bisa memberikan dukungan pada suaminya setelah aktif mengikuti kegiatan Study Club. Apa lagi saat ini suaminya tengah mengikuti terapi ARV. “Setelah saya mengerti apa itu HIV, bagaimana cara penularannya, dan segala macamnya, saya tidak lagi takut atau merasa was-was terhadap orang yang hidup dengan HIV,” kata perempuan yang sudah tiga tahun mendampingi suaminya ini. Namun tantangannya saat ini adalah berusaha mempertahankan status HIV-nya agar tetap negatif.

Sejak dirinya menyadari bahwa mempunyai risiko tertular HIV dari suaminya, Chika berupaya menerapkan metode pencegahan penuralaran HIV melalui hubungan seksual dengan selalu menggunakan kondom. Pengetahuan tentang pencegahan penularan HIV ini, juga ia peroleh melalui Study Club. Alhasil meski sudah tiga tahun hidup dengan pengidap HIV, virus tersebut tidak serta merta masuk ke tubuhnya. “Saya sudah tiga kali melakukan test darah, tapi untungnya hasil test darah tersebut negatif,” kata anggota Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Tunjung Putih ini.

Meskipun pertemuan Study Club dilaksanakan satu kali seminggu, namun hasilnya sangat memuaskan. Sebab, pada tiap kesempatan, penyelenggara selalu menghadirkan nara sumber yang berkompeten sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Pertemuan ini bersifat lepas dan tidak berbentuk kelompok. Sebab, sejauh ini peserta yang hadir hanya orang itu-itu. Bahkan sebagian besar mereka juga telah bergabung di KDS masing-masing.

Menambah pengetahuan tentang HIV dan AIDS, menjadi menu sehari-hari Odha. Sebab ilmu pengetahuan tentang HIV dan AIDS selalu mengalami perekembangan sangat pesat. Maka, khususnya bagi pengidap HIV, disarankan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan HIV dan AIDS. Salah satunya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan atau pertemuan guna meningkatkan pengetahuan tentang HIV.

Keuntungan yang bisa kami dapatkan dalam mengikuti setiap kegiatan atau pertemuan guna meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS antara lain menambah wawasan, banyak memiliki teman, mendapat dukungan dari sebaya, dan yang terpenting adalah tidak ketinggalan informasi. Sebab kegiatan seperti Study Club ini juga kerap membahas beberapa informasi terhangat baik mengenai HIV/AIDS maupun isu kesehatan lainnya yang berhubungan dengan HIV. Manfaat lain mengikkuti Study Club adalah kami bisa lebih mengerti dunia kesehatan dibandingkan dengan siswa atau mahasiswa sekalipun. Sebab, selain karena rajin mencari informasi, kami juga merasakan dan mengalami langsung beberapa gangguan keseahatan tersebut. Karena itu, Odha sebaiknya ikut aktif dalam Study Club. [***]

1/21/2007

Diperlukan Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja

Diperlukan Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja

[IGN Pramesemara, Mahasiswa FK Unud, Relawan KISARA PKBI Bali]

Lebih dari sepertiga masalah pacaran ke telepon KISARA PKBI Bali hingga Desember 2006 berkaitan dengan aktivitas seksual remaja. Terdapat kecenderungan remaja baru berkonsultasi setelah melakukan aktivitas seksual aktif. Remaja berhubungan seksual pranikah karena coba-coba dan tanpa direncanakan, terbawa suasana, dan adanya dorongan seksual akibat pengaruh media pornografi. Dalam konseling tatap muka juga ada remaja kelas 2 SMP yang melakukan kebiasaan masturbasi berlebihan. Awalnya kebiasaan ini pun karena coba-coba akibat ajakan dan pengaruh teman-teman sebayanya.

Contoh itu hanyalah sengelintir dari permasalan remaja berkaitan dengan aktivitas seksual. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual (trauma), hubungan seksual pra nikah (HSPN), kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja, pernikahan dini (usia muda), penyalahgunaan narkoba hingga kriminalitas para remaja, yang nampaknya masih belum banyak diangkat dan dibahas secara mendalam. Masalah itu ibarat fenomena gunung es, yang terlihat hanya puncaknya, padahal di dasarnya banyak kasus belum terdeteksi.

Kasus di atas terjadi akibat pengetahuan seks remaja saat ini sering tidak tepat guna. Tidak jarang, pengetahuan seks yang diperoleh hanyalah sebatas informasi belaka, bukan berupa pendidikan. Itu terjadi karena remaja tidak mendapatkan pendidikan seks di dalam sekolah atau lembaga formal lainnya. Akibatnya, keingintahuan yang sangat berlebihan mengenai seks didapatkan dari berbagai media yang salah. Berdasarkan survey sederhana Kisara tahun 2004, hampir 60 persen remaja SMP-SMA sudah melihat media-media porno, baik itu dari situs internet, VCD, atau buku-buku porno lainnya.

Untuk itu, orang tua selaku mitra bina utama para remaja yang notabene anak remaja sendiri hendaknya memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak dini. Orang tua harus menjawab dengan jujur dan tepat ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia anak, hingga tidak terjadi salah penafsiran. Karena itulah, orang tua dituntut membekali diri dengan pengetahuan cukup tentang seks dan psikologi remaja.

Rasa ingin tahu para remaja seringkali kurang disertai pertimbangan rasional akan efek lanjut perbuatannya. Hal ini terjadi akibat kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pendidikan seks dari sekolah atau lembaga formal lainnya. Sementara itu, berbagai informasi seks dari media massa yang tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut dijadikan pedoman oleh remaja. Maka tidaklah mengherankan kalau akhirnya menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil remaja mengenai masalah cinta dan seks begitu kompleks. Akibatnya, timbulah gesekan-gesekan dengan orang tua maupun juga terhadap lingkungan sekitarnya.

Kenikmatan cinta dan seks di berbagai media mengakibatkan fantasi-fantasi seks berkembang cepat tidak terarah. Di sinilah titik rawan dan gejolaknya pun muncul. Dorongan seks remaja sudah dimulai sejak memasuki pubertas. Sementara saat itu, remaja masih bersekolah dan kemudian melanjutkan ke dunia kuliah sehingga belum memungkinkan siap diri dan matang secara mental untuk menikah. Akibatnya remaja menyalurkan dorongan seksual yang tinggi dengan melakukan masturbasi atau onani maupun HSPN.

Kehamilan remaja, pengguguran kandungan (aborsi), terputusnya sekolah, perkawinan di usia muda, perceraian muda, kriminalitas remaja, infeksi kelamin (IMS), penyalahgunaan narkoba serta HIV dan AIDS pada remaja terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap cinta dan seks saat remaja. Untuk itu, pendidikan seks bagi remaja SMP dan SMA sebaiknya diberikan agar remaja sadar bagaimana menjaga organ reproduksinya tetap sehat. Bagi siswa SMP dan SMA ditekankan pada abstinence atau puasa seks. Jangan melakukan hubungan seks jika belum siap bertanggungjawab!

Mustahil melarang remaja saling berinteraksi dengan lawan jenisnya. Proses interaksi yang lebih lanjut biasanya diwujudkan dengan berpacaran. Secara medis psikiatri merupakan hal yang wajar dan baik bagi perkembangan aspek kematangan emosional remaja itu sendiri. Namun, haruslah tetap ada rambu-rambu yang dipasang agar tidak terjadi berpacaran yang berlebihan, apalagi sampai melakukan hubungan seksual. Akibatnya, terjadi kehamilan yang tidak diinginkan sehingga memutuskan mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kasus aborsi di Indonesia sebanyak 2,3 juta pertahun. Sekitar 15-30 persen di antaranya adalah remaja. Itulah yang menjadi salah satu faktor penunjang yang mengakibatkan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Aborsi biasanya dilakukan oleh remaja wanita hamil, baik yang sudah atau belum menikah.

Beberapa alasan dilakukan pengguguran kandungan adalah tidak ingin memiliki anak sebab khawatir mengganggu sekolah, karier dan belum bisa bertanggungjawab. Selain itu, karena tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak dan sebagian lainnya karena tidak memiliki ayah (remaja pria tidak mengakui perbuatannya). Bahkan, alasan lain yang sering dilontarkan karena remaja masih terlalu muda atau akan menjadi aib keluarga.

Pendidikan seks yang benar dan disesuaikan kondisi masyarakat kita dapat mengurangi konflik dan mitos-mitos salah yang selama ini berkembang di masyarakat. Tentunya, setelah mengetahui kesehatan reproduksi dan risiko-risiko serta konsekuensi yang harus ditanggung jika melakukan hubungan seks di luar nikah, yang akan membuat remaja kita lebih berhati-hati dan menjaga dirinya, termasuk ketika memutuskan untuk berpacaran. Dengan adanya pendidikan seks, maka diharapkan mampu meningkatkan kemampuan intelektualisasi remaja.

Oleh karena itu, jadilah remaja bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kerjasama sinergis semua pihak dari orang tua, remaja, masyarakat (lingkungan) dan pemerinta untuk bersama-sama peduli terhadap remaja. [***]

1/16/2007

Imbangi Terapi dengan Perilaku Sehat

Imbangi Terapi dengan Perilaku Sehat

[Alvien Cartner, staf Yayasan Bali+]

Orang dengan HIV/AIDS (Odha), seperti yang sudah kita ketahui, adalah orang yang sangat rentan terkena berbagai penyakit infeksi oportunistik (IO) atau kumpulan gejala penyakit. IO yang sering menyerang itu misalnya candidiasis yaitu jamur pada mulut dan tenggorokan lalu diikuti tuberkulosis yang menyerang paru. IO terjadi karena sistem kekebalan tubuh semakin menurun akibat rusaknya sel darah putih yang sudah diserang human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab menurunnya sistem kekebalan tubuh atau acquired immune deficiancy syndrome (AIDS).

Seorang Odha bukan berarti harus berdiam diri dan menyesali diri apalagi membiarkan persoalan ini berlarut-larut dan tidak ditindak lanjuti. Hal yang lebih penting adalah mencari jalan keluar dan informasi tepat agar HIV tidak terus menerus menggerogoti sistem kekebalan tubuh Odha. HIV sendiri termasuk jenis smart virus artinya virus yang sangat cerdas karena bisa mereplikasi. HIV bisa memperbanyak diri pada sel darah putih pada manusia. Dalam dunia medis sel darah putih ini disebut CD4.

Sebagai bagian dari penanggulangan HIV/AIDS sendiri, pemerintah sudah memberikan bantuan seperti subsidi obat anti-retroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus di dalam tubuh Odha. Berbagai pihak baik dokter, perawat, maupun konselor sudah memberikan perhatian khusus pada mereka yang dinyatakan terinfeksi HIV dan sudah mengalami gejala oportunistik.

Sebagai obat terapi, ARV seharusnya diminum secara disiplin oleh Odha. Namun dalam berbagai kasus, kurangnya kesadaran dari Odha untuk patuh minum ARV justru jadi bumerang. Biasanya Odha tidak disiplin minum ARV dengan alasan efek samping yang sangat mengganggu pola hidup Odha. Efek samping ini biasa dialami Odha yang baru mulai terapi ARV yaitu merasakan mual, kepala pening, dan sebagainya. Efek samping penggunaan obat ARV ini sebenranya bersifat sementara. Gejala-gejala seperti itu tadi menandakan tubuh berinteraksi, merespon dan mulai menyesuaikan diri dengan ARV. Biasanya gejala tersebut akan berangsur-angsur hilang dalam kurun paling lama dua bulan.

Untuk itu ada baiknya jika Odha yang baru mulai terapi mulai ARV juga mengimbangi dengan kegiatan sehari-hari. Misalnya melakukan aktivitas olah raga dan pola hidup sehat seperti tidur teratur dan mendengarkan musik.

Tidur yang baik normalnya tujuh sampai delapan jam semalam. Dengan tidur yang cukup seorang Odha sudah melakukan pembuangan sampah penyebab kelelahan. Karena sebagian kegiatan ada pada otot, sedangkan otot terdiri dari dioksida dan asam laktat yang menumpuk dalam darah yang juga sarat mempunyai efek toksik penyebab rasa lelah dan rasa kantuk. Selama tidur sampah ini akan dibuang.

Mendengarkan musik juga bisa jadi bagian hidup sehat. Karena dengan mendengarkan musik dapat berpengaruh dengan hidup. Musik juga juga bisa menjadi alat terapi karena musik merupakan salah satu bentuk rangsang suara yang merupakan stimulus khas untuk indera pendengaran. Akibatnya jika mendengarkan musik cenderung kita mengetukan tangan pada meja atau menghentakan kaki pada lantai dan itu berarti memberikan kesan harmoni pada diri kita. Jadi musik akan memberikan sensasi menyenangkan. Hal ini bisa mengurangi stress.
Untuk itu sebaiknya Odha yang sudah terapi ARV agar selalu mengimbangi dengan pola hidup sehat dan menjaga perilaku. Sehat itu mahal tetapi menjaga kesehatan itu sangat murah. [***]

1/14/2007

ODHA juga Harus Melaksanakan Kewajiban

ODHA juga Harus Melaksanakan Kewajiban

[Kartini, anggota Kelompok Dukungan Sebaya Tunjung Putih]

Saat ini banyak orang meneriakkan tentang perlunya operlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Teriakan yel-yel, tentang HAM bergema di seluruh pelosok negeri, bahkan di seluruh permukaan bumi. Meski demikian, tak sedikit masyarakat kita yang awam tentang pengertian HAM itu sendiri. Bahkan sebagian masyarakat juga ada yang tidak tahu sama sekali apa sebenarnya “hak asasi”. Inilah yang patut kita renungkan, kita kaji lebih jauh, dan kita adakan perbaikan cara penyampaian informasi tentang pengertian HAM. Agar ke depannya tidak ada lagi yang salah persepsi tentang HAM.

Hal lain yang jadi otokritik adalah kendati pun kita semua mempunyai hak, tapi jangan kita terus lupa diri, bahwa sebelum mendapatkan hak, kita juga harus melaksanakan kewajiban. Hal itu perlu digarisbawahi agar semua berjalan seimbang. Jangan mentang-mentang ODHA, lalu mau seenak gue. Pastikan dan yakinkan pada masyarakat dan pemerintah bahwa ODHA dan injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik mampu mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

Kalau dari dulu ODHA dan IDU menuntut Stop Diskriminasi dan Stigma, bagaimana jadinya jika stigma dan diskriminasi itu justru datangnya dari sikap dan perilaku ODHA dan IDU sendiri? Di sinilah justru letak egoisme kita. Ironisnya justru ODHA dan IDU itu biasanya cenderung ingin disayang, ingin dimengerti, ingin dipahami, dan selalu ingin didengar pendapatnya. Padahal jika sadar, justru mereka tidak pernah menyayangi dirinya sendiri. Tidak sedikit ODHA yang justru dengan cueknya masih menggunakan narkoba padahal mereka tahu itu sesuatu yang merugikan kesehatan. Bahkan, tak terhitung jumlah ODHA yang masih asik merokok padahal mereka pasti tahu rokok bisa memicu infeksi oprtunistik. Inilah renungan yang perlu diperhatikan. Bagaimana orang lain mau peduli pada masalah Anda jika Anda sendiri tidak peduli pada masalah Anda?

Ketidakpedulian pada kesehatan diri sendiri ini pun terjadi di skala lebih besar. Contoh nyata baru-baru ini terjadi dan sempat membikin heboh pihak rumah sakit dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di Bali. Gara-garanya ada ODHA yang lari ketika dirawat di rumah sakit. Padahal LSM pendampingan sudah susah payah dan melakukan semua usaha agar klien mendapat pelayanan medis mengingat kondisi klien memang harus mendapat perawatan secara intensif. Karena klien tidak mampu menanggung biaya rumah sakit, maka dirujuk ke LSM dan dilanjutkan ke rumah sakit.

Menurut peraturan, pasien telantar menjadi tanggung jawab Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinsos). Mengingat ODHA dan IDU juga punya hak untuk mendapat layanan kesehatan tanpa harus membedakan status apapun itu namanya. Kendati pun begitu, proses untuk jadi pasien telantar tidaklah mudah karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klien. Salah satunya harus siap dipulangkan ke daerah asal setelah sembuh dari sakitnya.

Tapi yang sangat disayangkan, justru si klien yang sudah dibantu semaksimal mungkin oleh rumah sakit dan LSM justru lari ketika dirawat. Padahal sakitnya sudah parah dan harus terapi OAT (obat anti TBC).

Justru yang rugi total adalah pasien itu sendiri, karena sudah tidak dapat perawatan yang maksimal. Selain itu walau pun sampai saat ini yang bersangkutan masih diperbolehkan kontrol, tapi dia harus nebus resep sendiri karena masuk kategori pasien umum. Padahal semula dia mendapat perawatan gratis. Nah kalau sudah begitu siapa yang rugi?

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah jangan pernah menuntut mendapatkan layanan kesehatan lagi, jika tidak mau melaksanakan kewajiban untuk perduli sama kesehatan diri sendiri. Karena bukan cuma satu ODHA yang perlu bantuan dan pertolongan. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan ODHA yang perlu perawatan dan dukungan juga. Jika rumah sakit dan pihak lain sudah tidak menggubris program ini lagi, dan tidak mau bekerjasama dengan LSM-LSM yang ada, bagaimana jadinya nasib teman-teman ODHA yang perlu perawatan medis?

Poin yang ingin saya sampaikan bagi semua ODHA dan IDU adalah sadarlah walaupun sama-sama punya hak, boleh menuntut hak, tapi jangan lupa utamakan kewajiban. Bagi para relawan juga dermawan, jangan bosan-bosan membantu ODHA dan IDU. Karena tidak semua ODHA dan IDU mempunyai pikiran yang negatif, melainkan tak sedikit ODHA dan IDU berpikiran positif dan ingin maju. Bantuan yang kami maksud di sini bukan saja sekedar materi, tapi mereka juga perlu dukungan emosional dan yang utama adalah bimbingan. Agar ke depannya nanti mereka tidak cuma bisa menadahkan tangan, melainkan bisa sebaliknya. Mereka bisa jadi usahawan dan donatur yang kuat. Dan yang perlu di ingat apapun status mereka,yang pasti mereka adalah tetap manusia yang punya hak untuk hidup layak seperti manusia lain.

Kami berharap tidak ada pihak yang tersinggung dengan adanya tulisan ini. Karena ini bukan suatu kritik, melainkan suatu masukan atau pembelajaran bagi kita semua untuk memahami arti sebuah hak dan kewajiban. [***]

ODHA juga Harus Melaksanakan Kewajiban

ODHA juga Harus Melaksanakan Kewajiban

[Kartini, anggota Kelompok Dukungan Sebaya Tunjung Putih]

Saat ini banyak orang meneriakkan tentang perlunya operlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Teriakan yel-yel, tentang HAM bergema di seluruh pelosok negeri, bahkan di seluruh permukaan bumi. Meski demikian, tak sedikit masyarakat kita yang awam tentang pengertian HAM itu sendiri. Bahkan sebagian masyarakat juga ada yang tidak tahu sama sekali apa sebenarnya “hak asasi”. Inilah yang patut kita renungkan, kita kaji lebih jauh, dan kita adakan perbaikan cara penyampaian informasi tentang pengertian HAM. Agar ke depannya tidak ada lagi yang salah persepsi tentang HAM.

Hal lain yang jadi otokritik adalah kendati pun kita semua mempunyai hak, tapi jangan kita terus lupa diri, bahwa sebelum mendapatkan hak, kita juga harus melaksanakan kewajiban. Hal itu perlu digarisbawahi agar semua berjalan seimbang. Jangan mentang-mentang ODHA, lalu mau seenak gue. Pastikan dan yakinkan pada masyarakat dan pemerintah bahwa ODHA dan injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik mampu mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

Kalau dari dulu ODHA dan IDU menuntut Stop Diskriminasi dan Stigma, bagaimana jadinya jika stigma dan diskriminasi itu justru datangnya dari sikap dan perilaku ODHA dan IDU sendiri? Di sinilah justru letak egoisme kita. Ironisnya justru ODHA dan IDU itu biasanya cenderung ingin disayang, ingin dimengerti, ingin dipahami, dan selalu ingin didengar pendapatnya. Padahal jika sadar, justru mereka tidak pernah menyayangi dirinya sendiri. Tidak sedikit ODHA yang justru dengan cueknya masih menggunakan narkoba padahal mereka tahu itu sesuatu yang merugikan kesehatan. Bahkan, tak terhitung jumlah ODHA yang masih asik merokok padahal mereka pasti tahu rokok bisa memicu infeksi oprtunistik. Inilah renungan yang perlu diperhatikan. Bagaimana orang lain mau peduli pada masalah Anda jika Anda sendiri tidak peduli pada masalah Anda?

Ketidakpedulian pada kesehatan diri sendiri ini pun terjadi di skala lebih besar. Contoh nyata baru-baru ini terjadi dan sempat membikin heboh pihak rumah sakit dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di Bali. Gara-garanya ada ODHA yang lari ketika dirawat di rumah sakit. Padahal LSM pendampingan sudah susah payah dan melakukan semua usaha agar klien mendapat pelayanan medis mengingat kondisi klien memang harus mendapat perawatan secara intensif. Karena klien tidak mampu menanggung biaya rumah sakit, maka dirujuk ke LSM dan dilanjutkan ke rumah sakit.

Menurut peraturan, pasien telantar menjadi tanggung jawab Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinsos). Mengingat ODHA dan IDU juga punya hak untuk mendapat layanan kesehatan tanpa harus membedakan status apapun itu namanya. Kendati pun begitu, proses untuk jadi pasien telantar tidaklah mudah karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klien. Salah satunya harus siap dipulangkan ke daerah asal setelah sembuh dari sakitnya.

Tapi yang sangat disayangkan, justru si klien yang sudah dibantu semaksimal mungkin oleh rumah sakit dan LSM justru lari ketika dirawat. Padahal sakitnya sudah parah dan harus terapi OAT (obat anti TBC).

Justru yang rugi total adalah pasien itu sendiri, karena sudah tidak dapat perawatan yang maksimal. Selain itu walau pun sampai saat ini yang bersangkutan masih diperbolehkan kontrol, tapi dia harus nebus resep sendiri karena masuk kategori pasien umum. Padahal semula dia mendapat perawatan gratis. Nah kalau sudah begitu siapa yang rugi?

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah jangan pernah menuntut mendapatkan layanan kesehatan lagi, jika tidak mau melaksanakan kewajiban untuk perduli sama kesehatan diri sendiri. Karena bukan cuma satu ODHA yang perlu bantuan dan pertolongan. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan ODHA yang perlu perawatan dan dukungan juga. Jika rumah sakit dan pihak lain sudah tidak menggubris program ini lagi, dan tidak mau bekerjasama dengan LSM-LSM yang ada, bagaimana jadinya nasib teman-teman ODHA yang perlu perawatan medis?

Poin yang ingin saya sampaikan bagi semua ODHA dan IDU adalah sadarlah walaupun sama-sama punya hak, boleh menuntut hak, tapi jangan lupa utamakan kewajiban. Bagi para relawan juga dermawan, jangan bosan-bosan membantu ODHA dan IDU. Karena tidak semua ODHA dan IDU mempunyai pikiran yang negatif, melainkan tak sedikit ODHA dan IDU berpikiran positif dan ingin maju. Bantuan yang kami maksud di sini bukan saja sekedar materi, tapi mereka juga perlu dukungan emosional dan yang utama adalah bimbingan. Agar ke depannya nanti mereka tidak cuma bisa menadahkan tangan, melainkan bisa sebaliknya. Mereka bisa jadi usahawan dan donatur yang kuat. Dan yang perlu di ingat apapun status mereka,yang pasti mereka adalah tetap manusia yang punya hak untuk hidup layak seperti manusia lain.

Kami berharap tidak ada pihak yang tersinggung dengan adanya tulisan ini. Karena ini bukan suatu kritik, melainkan suatu masukan atau pembelajaran bagi kita semua untuk memahami arti sebuah hak dan kewajiban. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?