8/15/2006

Ketika HIV/AIDS Diabaikan

HIV/AIDS di Bali tak lagi hanya di kelompok berisiko tinggi. HIV/AIDS menyebar juga ke anak-anak dan ibu rumah tangga. Luh De Suriyani, pemimpin redaksi media advokasi HIV/AIDS dan narkoba di Bali, Kulkul, menulis panjang tentang masalah tersebut. Tulisan panjang ini dimuat majalah The Echo Mei lalu.

Silakan dibaca,


Penunggu Blog

***

Ketika HIV/AIDS Diabaikan

Oleh Luh De Suriyani

Ketika matahari berada di ufuk barat, Jero Sari, sebut saja demikian, bergegas keluar rumah. Di pinggir jalan, ia menghampiri gerobak berisi sampah. Gerobak itu telah penuh berisi sampah plastik dan organik karena pagi harinya ia telah usai mengambil sampah di sekitar 50 rumah. Lalu ia mengalungkan tali dari bahan kain ke lehernya untuk memudahkan gerakan tangannya. Dengan tangkas ia mulai menarik gerobak yang terbuat dari besi beroda dua itu. Ia mulai menyusuri jalan Patimura di sela hiruk pikuk padat lalu lintas di Kota Denpasar itu.

Sampah adalah sumber penghasilan Jero Sari hingga belasan tahun. Perempuan yang mengira-ngira berusia 47 tahun ini mengabdikan dirinya untuk memindahkan kotoran rumah tangga itu ke tempat penampungan sampah sementara di Kreneng, sekitar 2 kilometer dari rumahnya.

Bahkan hingga kini, ketika Human Immunodefeciency Virus (HIV) menggerogoti tubuhnya. Berawal dari setahun lalu, ketika suaminya sakit-sakitan. Hampir sebulan, sejumlah penyakit datang bertubi-tubi ke tubuh suaminya. Diare, flu, dan kadang-kadang sesak nafas. Saat dirawat di rumah sakit selama seminggu, beberapa anggota keluarga diberitahu bahwa suami Sari telah kena Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), suatu fase dimana gejala penyakit menyerang karena HIV telah melumpuhkan kekebalan tubuh manusia.

Berita itu menyebar cepat hingga sejumlah tetangganya tahu. “Mereka bertanya-tanya kenapa bisa kena AIDS. Terus ditanyain dimana dapat. Banyak yang bilang pasti dia tertular dari cewek yang pernah diajaknya dulu,” ujar Sandat, ipar Sari. Sandat menyalahkan orang lain yang disebutnya telah menularkan HIV itu pada adiknya.

Suami Sari hanya bertahan seminggu di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal. Ketika dirujuk ke rumah sakit, kondisinya telah parah. Saat upacara pemakaman tiba. Seorang paramedis pun datang ke rumah Nyoman dan ikut memandikan jenazah suaminya. Hal ini dilakukan untuk meredam ketakutan warga masyarakat yang mengira dapat tertular HIV jika menyentuh jenazah.

Setelah itu, hari-hari Sari berjalan kembali seperti bisa. Mengakrabi peluh dan sampah. Menjelang senja, sebuah gerobak penuh sampah menanti untuk diajaknya jalan-jalan. Tak ada guratan ketakutan seperti yang dialami sejumlah tetangga karena AIDS yang membuat suaminya meninggal. Tak sedikit pun bayangan itu ada, karena AIDS, kata yang baru dikenalnya, tak dipahaminya, hingga kini setelah lebih dari setahun ia positif HIV.

Setelah suaminya meninggal, dokter di Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar, tempat suaminya dirawat sebelum meninggal memberi perhatian khusus pada Sari. Seorang pendamping, Christian mengenalkannya dengan HIV/AIDS sebelum ia bersedia tes darah. Hari-harinya juga tak lantas berubah, kecuali ia mulai menyesuaikan waktu kerjanya dengan kewajiban minum beberapa pil yang disebut antiretroviral (ARV), penghambat perkembangbiakan HIV dalam tubuh. Ia bilang, obat itu harus diminumnya tiga kali sehari dengan tepat waktu. Tiap dua minggu sekali Christian mengantarkan ARV cuma-cuma itu ke rumahnya, sembari mengecek kondisi fisik Sari.

“Katanya biar saya sehat harus minum obat ini. Saya juga disuruh istirahat dan rajin mandi,” ujar perempuan dengan dua anak ini. Dua anaknya, laki-laki dan perempuan telah menginjak dewasa. Yang laki-laki, melarang Sari memakai peralatan makan minum yang dipakainya. Padahal beberapa kali diberi tahu bahwa HIV hanya rentan tertular melalui kontak darah dan cairan kelamin secara langsung. Sari hanya membiarkan semua berjalan biasa, tanpa menjadi gundah karenanya.

Ketidakmengertian Sari dengan HIV/AIDS dan kondisi dirinya malah menumbuhkan pemahaman sejumlah orang yang berada dalam ruangan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, awal September lalu. Saat itu, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali, lembaga non struktural pemerintah daerah Bali yang mengurusi HIV/AIDS tengah melakukan audiensi ke DPRD. Tujuannya agar para wakil rakyat memahami ancaman HIV dan memberikan komitmen untuk penanggulangannya.

Sari yang tak bisa berbahasa Indonesia itu duduk di meja panjang bersama dengan aktivis LSM dan mantan pengguna narkoba yang melakukan testimoni. “Saya tidak bisa bercerita seperti mereka. Tapi saya bisa jawab kalau ditanya sedikit-sedikit dengan bahasa Bali,” ujarnya terbata-bata. Dengan gugup mengatakan bahwa ia adalah pengangkut sampah, setiap bulan mendapatkan upah Rp 150 ribu. Setiap kali pertanyaan soal HIV/AIDS ia terdiam. Ia kelihatan bingung. Bahkan menyebut kata HIV/AIDS saja ia mengaku sulit. Seorang anggota DPRD, Anie Asmoro menitikkan air matanya.

Dan keesokkan harinya, Sari terlihat mengangkut banyak kayu bekas bongkaran bangunan untuk diantarkan ke rumah seseorang. Kayu-kayu itu akan dijadikan bahan bakar. “Saya senang kalau dapat angkut-angkut gini, kan bisa nambah uang,” ujarnya riang. Bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya yang ramping terlihat menghitam terbakar sinar matahari.

***

Sekitar 120 kilometer arah utara Denpasar, di Dusun Goris Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Made Dakih, juga harus mengasuh dua ponakannya, Susan dan Sunan. Dua balita itu ditinggal mati ayah dan ibunya karena HIV/AIDS.

Dakih yang berumur sekitar 45 tahun dan masih melajang itu kini tinggal sendiri di tengah ladang kering sekitar 100 meter dari Jalan Raya Gilimanuk-Singaraja. Jalan utama yang menghubungkan lalu lintas Bali dan Jawa ini membagi pesisir pantai utara Bali dengan daerah pegunungan.

Dakih dan dua ponakannya tinggal di rumah tua peninggalan keluarganya, jauh dari keramaian dan perumahan penduduk. Dinding batako dan batu bata itu semuanya telah lapuk. Di sebuah kamar tempat tidur mereka, di atas meja tertera tulisan tangan, ”Nyoman Muna Meninggal 23 Juni 2003”

Itulah ingatan yang ditulis untuk mengenang kematian ayah Sunan dan Susan karena tak kuasa melawan serangan banyak penyakit di tubuhnya. Tak satu pun anggota keluarga yang meyakini bahwa itu adalah HIV/AIDS.

“Berminggu-minggu dia sakit. Tidak punya nafsu makan, semua penyakitnya keluar. Mencret-mencret, mulutnya banyak lemak, sampai tidak bisa makan. Biar makanan masuk harus pakai larutan (sejenis minuman bersoda),” ujar Nadi, kakak perempuan Muna.

Ketika kondisi Muna bertambah parah, ia dibawa ke seorang dukun yang dipercaya pintar mengobati segala penyakit. Dukun memberikan loloh, sejenis jamu dari racikan tumbuhan dan rempah. Muna tak membaik. Hingga suatu kali, Nadi mendengar adiknya dikatakan tetangganya kena AIDS.

“Saya kaget. Kok bisa kena AIDS. Sungguh kami tak menyangka orang seperti kami bisa kena. Kan katanya cuma cewek-cewek nakal. Kami masih tidak bisa terima,” Nadi menceritakan kembali perasaannya waktu itu.

Sekarang, dua tahun setelah kematian Muna dan istrinya, Nadi dan Dakih mulai percaya HIV/AIDS bisa diidap siapa saja. Kenyataannya makin banyak orang mengalami gejala penyakit yang sama di Gerokgak. Sejumlah ibu rumah tangga pun telah dinyatakan positif HIV.

Kondisi ini makin terbuka karena Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan HIV/AIDS di Bali melakukan pendampingan dan advokasi di wilayah ini. Mereka mendirikan PIGO, pos informasi Goris. Di pos ini, aktivis YCUI kerap berkumpul dengan warga untuk menginformasikan soal HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), dan pemakaian kondom.

YCUI juga membuat kelompok dukungan Suryakanta, yang khusus memberi dukungan kesehatan dan ndampingan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) di Buleleng. Suryakantha yang dikoordinatori Kadek Carna Wirtha juga secara rutin memberikan bantuan pangan dan biaya pendidikan bagi sejumlah anak yatim atau yatim piatu karena kehilangan orang tua akibat HIV/AIDS, seperti Susan dan Sunan. Bantuan ini berasal dari donasi dan pemerintah daerah Kabupaten Buleleng.

Dakih dan Nadi mengaku menyesal baru mengetahui soal HIV/AIDS. “Coba saya tahu dari dulu, barangkali orang tua Susan dan Sunan masih ada. Sekarang kan sudah ada obat yang katanya diberikan gratis. Kita dulu setengah mati nyari orang yang bisa ngobatin. Sudah sakit parah, dikucilkan,” kata Nadi.

Seiring makin banyaknya informasi dan akses pelayanan kesehatan di Gerokgak, tak banyak warga heran pada Odha. Puskesmas setempat juga kini membuka pintu untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi anak-anak yatim atau piatu yang telah kehilangan orang tua karena HIV/AIDS.

Ketika bertanya pada warga sekitar kenapa banyak yang terinfeksi HIV, salah satu jawabannya adalah karena banyaknya pekerja tempat hiburan malam seperti cafe dan warung karaoke. Tetapi faktanya, toh, lokasi hiburan malam, seperti cafe, warung kopi, dan tempat karaoke makin banyak dan menyebar lokasinya di pemukiman penduduk. Artinya, makin banyak yang suka ke lokasi hiburan.

Saat menyusuri satu kawasan padat lokasi hiburan malam di wilayah itu, tampak deretan rumah semi permanen. Sejumlah papan nama warung atau cafe berbeda terlihat di depan rumah-rumah itu. Siang hari tak nampak ada aktivitas penghuninya. Mereka biasanya menjual makanan ringan dan minuman.

Kegemaran sejumlah laki-laki ke lokasi hiburan malam ekses dari keseharian mereka yang kebanyakan berprofesi sebagai sopir angkutan antar provinsi atau antar kabupaten. Tempat-tempat istirahat yang sering dikunjungi sopir adalah warung atau cafe di sepanjang jalur transportasi darat, termasuk Gerokgak. Hal ini diakui Merta, sebut saja demikian. Pria 33 tahun ini hingga kini mengatakan bersenang-senang adalah bagian dari tradisi pekerjaannya sebagai kernet truk. “Tak ada yang perlu ditakuti, sampai akhirnya saya katanya kena AIDS.”

Salah seorang petugas lapangan YCUI, Siti Mariani, mengatakan di Gerokgak tidak ada lokasi prostitusi karena kebanyakan transaksi seks terselubung. Persoalannya, banyak mitos di sekeliling ancaman HIV/AIDS ini. Misalnya, hanya orang yang fisiknya kelihatan kotor yang rentan tertular HIV atau mengidap IMS. Atau kebiasaan pelanggan seks yang menggunakan antibiotik untuk menghindari penyakit. Karenanya tak mudah mempopulerkan kondom sebagai alat pengaman.

Pengabaian-pengabaian ini sampai ke ranah rumah tangga. Ketika IMS dan HIV menghampiri suami, sang istri tak bisa mengelak penularannya. “Saya sekarang jadi takut, jangan-jangan suami nyeleweng. Banyak yang kelihatan jujur, kok kena AIDS,” heran Nadi.

Data Suryakanta menyebutkan sedikitnya terdapat 13 Odha di Gerokgak. Sementara anak-anak yatim atau yatim piatu yang kehilangan orang tua karena AIDS berjumlah 14 orang, berusia 2-14 tahun. Mereka yang bersedia mendapat pendampingan dari YCUI. Sementara data kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Kabupaten Buleleng sebnayak 88 orang.

Hingga kini, Dinas Kesehatan Provinsi Bali melaporkan terdapat 161 kasus AIDS sejak 1987 di Bali. Sementara kasus HIV dipastikan lebih banyak dari itu dan hingga kini masih ditelusuri data pastinya. Hampir 60 persennya yang terinfeksi HIV adalah dampak penggunaan narkoba suntik bergantian (injecting drug users/IDU). Data itu diyakini hanya puncak dari sebuah gunung es, idiom yang menggambarkan betapa berlipatnya kasus HIV/AIDS di dasar gunung es yang tak terlihat. KPAD memperkirakan di Bali terdapat 3000 kasus HIV/AIDS, dimana sekitar 1100 karena penggunaan narkoba suntik, dan sisanya melalui hubungan seksual (hetero/transeksual). Dinas Kesehatan masih menggunakan istilah kelompok beresiko tinggi yang rentan tertular HIV/AIDS seperti pekerja seks dan IDU.

Namun, semakin banyak orang yang disebut bukan golongan beresiko tinggi yang tiba-tiba terinfeksi seperti Jero Sari. Juga beberapa ibu rumah tangga di Gerokgak serta kemungkinan anak-anak mereka. Persoalannya sebagian besar dari mereka tertutup sehingga sulit mendapatkan dukungan sosial dan kesehatan. Apakah pengabaian ini akan terus berlanjut? Saatnya membuka mata dan hati bahwa HIV tidak mengenal kelompok beresiko tinggi tapi bagian dari masyarakat umum.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?