12/21/2006

Vonis Rehabilitasi Sekarang Juga!

Vonis Rehabilitasi Sekarang Juga!

IGN Wahyuda, Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali]

Kamis pekan lalu, puluhan anggota Ikatan Korban Napza (IKON) Bali melakukan aksi damai di Pengadilan Negeri (PN) dan Kejaksaan Negeri Denpasar. Aksi damai dilakukan dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 10 Desember lalu. Karena dimaksudkan sebagai aksi damaui, maka IKON Bali juga membagi bunga mawar merah sebagai wujud mengajak orang lain agar berempati dalam penanggulangan narkoba dan HIV/AIDS.

Dalam aksi itu ada empat tuntutan massa yang sebagian besar adalah mantan pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (Napza) tersebut. Empat tuntutan itu adalah: 1) Menyerukan penghapusan vonis penjara bagi pecandu narkoba, 2) Menyerukan agar semua instansi penegak hukum memberikan vonis rehabilitasi bagi pecandu narkoba sebagaimana diatur dalam UU Narkotika No 22 Tahun 1997, 3) Menghimbau semua pihak untuk menghormati hak asasi manusia meskipun pada pecandu narkoba, serta 4) Menghimbau semua pihak untuk tidak hanya menyalahkan pecandu narkoba tapi memberikan jalan yang keluar bagi persoalan ini.

Esoknya, melalui media massa lokal, Ketua PN Denpasar Putu Widnya memberikan komentar bahwa hukuman penjara masih diperlukan bagi pecandu narkoba. Tujuannya untuk memberikan efek jera. Selain itu beliau juga memberikan saran agar IKON Bali mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi jika ingin mengubah UU Narkotika dan UU Psikotropika.

Karena itu ada beberapa hal yang perlu diperjelas. Pertama tentang hukuman penjara bagi pecandu narkoba. Tanpa mencermati dan memikirkan lebih dalam, pernyataan itu seolah-olah benar. Seolah-olah penjara memang jalan terbaik bagi pecandu narkoba. Nyatanya tidak begitu.

Hukuman penjara berangkat dari pikiran bahwa pecandu narkoba adalah pelaku tindak kriminal. Secara hukum formal memang begitu. Kami mengakui bahwa menggunakan narkoba secara ilegal merupakan tindakan yang dilarang. Namun pecandu narkoba hanya korban dari bandar. Tidak ada keuntungan apa pun yang didapat pecandu ketika memakai narkoba. Bandarlah yang mendapat uang berlimpah dari peredaran gelap narkoba. Jadi menjatuhkan vonis penjara bagi pecandu berarti menghukum korban. Malang nian nasib pecandu, sudah jadi korban dihukum pula.

Hukuman penjara sebagai efek jera pun tak berhasil. Sudah tak terhitung jumlah pecandu yang dihukum penjara seberat-beratnya. Toh, tidak berarti makin sedikit jumlah orang yang menggunakan narkoba. Kita lihat saja di Lapas Kerobokan. Jumlah nara pidana atau tahanan yang paling banyak tetap saja karena kasus narkoba, entah karena pemakaian atau peredaran. Lebih dari 50 persen penghuni Lapas Kerobokan adalah karena kasus narkoba. Apalagi Lapas Kerobokan sudah melebih kapasitasnya. Per September 2006 lalu jumlah penghuninya 840 orang dari yang seharusnya 320 orang. Artinya penjara bukan lagi hal yang menakutkan bagi pecandu. Penjara telah gagal memberi efek jera.

Parahnya lagi, penjara tidaklah menghentikan ketergantungan pecandu pada narkoba. Dasar pikiran ketika menjatuhkan vonis penjara adalah agar pecandu kapok, dan tidak lagi memakai narkoba. Nyatanya tidak. Di penjara, pecandu makin gampang mendapat narkoba. Sebab sudah jadi rahasia umum bahwa penjara merupakan salah satu tempat paling aman untuk jual beli narkoba.

Mudahnya pemakaian narkoba tidak disertai adanya peralatan untuk memakai narkoba. Misalnya jarum suntik. Padahal pecandu yang dipenjara tidak bisa menghilangkan kebiasaan memakai narkoba dengan jarum suntik. Jarum pun dipakai secara bergantian. Kebiasaan ini mengakibatkan mudahnya penularan human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immune deficiancy syndrome (AIDS). Mereka yang semula tidak positif HIV pun akan tertular HIV akibat pemakaian narkoba di penjara.

Sebagai gambaran, pada 2000 ditemukan 35 napi dan tahanan positif HIV di Lapas Kerobokan. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbanyak di Bali pada waktu itu. Saat ini sejak 2004 hingga 2006 lalu ada 28 orang dengan HIV/AIDS di penjara terbesar di Bali tersebut. Jika masalah ini tidak jadi perhatian, maka akan makin menambah jumlah kasus HIV/AIDS di Bali.

Untungnya saat ini di penjara sudah ada program subtitusi untuk menanggulangi masalah ketergantungan pecandu pada narkoba. Ada program rumatan methadone untuk mengurangi kecanduan pada heroin. Rumatan methadone di Lapas Kerobokan dilakukan sejak Agustus 2005. Ketika baru dibuka sudah ada 56 klien yang ikut program ini. Total klien yang pernah ikut program ini 69 orang. Saat ini masih ada 42 warga binaan yang ikut. Tak sedikit pecandu yang bisa berhenti menggunakan narkoba setelah ikut program ini. Hal ini membuktikan bahwa rehabilitasilah yang menjawab persoalan ketergantungan pecandu pada narkoba, bukan penjara.

Kedua saran untuk mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi tentang perubahan UU narkotika agar tidak ada vonis penjara bagi pecandu narkoba. Menurut kami tidak perlu jauh-jauh ke Mahkamah Konstitusi agar vonis rehab bisa dijatuhkan. Sebab, UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika sudah memungkinkan adanya vonis rehab tersebut. Pasal 45 UU berbunyi pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan atau rehabilitasi. Demikian pula pada Pasal 47 ayat a dan ayat b. Pasal itu memerintahkan agar hakim memutuskan untuk memerintahkan rehabilitasi bagi pecandu apabila pecandu narkoba tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Kalau sudah ada UU yang memungkinkan adanya vonis rehabilitasi, kenapa tidak bisa dilakukan? Inilah yang jadi masalah. Belum banyak hakim ataupun penegak hukum lain seperti polisi dan jaksa yang dengan berbesar hati membuka pikiran bahwa penjara tidak bisa menjawab ketergantungan pecandu pada narkoba. Masalah ketergantungan pecandu pada narkoba harus dilihat dari beragam perspektif, tidak hanya masalah hukum. Tinggal apakah penegak hukum mau pakai kaca mata kuda atau membuka pikiran seluas-luasnya. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?