12/02/2006

Stop AIDS! Saatnya Kita Melayani

Stop AIDS! Saatnya Kita Melayani

[Made Putri Ayu Rasmini, relawan Sobat dan Kisara Bali]

Hari AIDS Sedunia (HAS) yang jatuh tiap 1 Desember diperingati untuk menumbuhkan kesadaran terhadap wabah acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh di seluruh dunia yang disebabkan oleh penyebaran human immunodeficiancy virus (HIV).

HAS disusun dan disetujui dengan suara bulat oleh 140 negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia Menteri Kesehatan mengenai AIDS pada Januari 1988 di London, Inggris. Hari tersebut direncanakan sebagai kesempatan bagi para pemerintah, program AIDS nasional, LSM dan organisasi setempat untuk menunjukkan pentingnya mereka terlibat dalam perang terhadap AIDS dan solidaritasnya dalam upaya ini.

Kemudian pada tahun yang sama, pada pertemuan paripurna Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-38 pada 27 Oktober 1988, lembaga tertinggi dunia itu membuat resolusi nomor A/RES/43/15. Melalui resolusi tentang pencegahan dan penanggulangan AIDS ini World Health Organization (WHO) menyatakan 1 Desember 1988 sebagai HAS. Di sana juga ditekankan pentingnya menghormati peristiwa tersebut.

Momentum ini berangkat dari kesadaran bahwa HIV/AIDS sudah menjadi ancaman biologis terbesar di dunia. Setiap harinya diperkirakan muncul 14.000 infeksi baru HIV. Sebanyak 95 persen lebih berasal dari negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Di Indonesia, saat ini diperkirakan ada 90.000-130.000 orang dengan HIV/AIDS. Hingga 2010 diperkirakan jumlahnya meningkat jadi satu sampai lima juta orang.

Pada 1998, ketika HAS diperingati pertama kali, temanya adalah Join the Worldwide Effort (Ikuti Usaha Kami Bersama). Tiap tahun, tema kegiatan ini berganti-ganti. Dua tahun terakhir, WHO menetapkan tema Stop AIDS Keep The Promise. Bedanya, tahun ini diberi tambahan "Stop AIDS! Saatnya Kita Melayani". Melalui tema tersebut, kita diingatkan bahwa pencegahan terhadap epidemi HIV/AIDS harus terus dilakukan dengan mengoptimalkan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Care, Support, and Treatment (CST) atau perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Tema tersebut sangat mengena karena VCT dan CST merupakan dua hal yang penting dalam penanggulangan AIDS. VCT adalah program yang dilakukan untuk memberikan konseling dan tes secara suka rela pada orang yang berisiko tertular HIV. Sedangkan CST dilakukan pada orang yang sudah positif HIV. Tujuannya sama, menanggulangi epidemi ini.

Sejumlah negara seperti Brasil berhasil menurunkan prevalensi HIV/AIDS. Negara ini memasukkan program terapi antiretroviral (ART) dalam kebijakan nasional mereka sejak 2003 sehingga ODHA di sana dapat tetap hidup dan berkarya. Selain itu, Brasil pun mengimplementasikan sejumlah strategi harm reduction, yakni program penjangkauan dengan pertukaran jarum suntik steril, terapi narkoba dengan substitusi oral seperti metadon, serta dukungan dan perawatan, dan pengobatan bagi penasun. Akses jarum suntik yang steril pun dibuat semudah mungkin sehingga kemungkinan penggunaan jarum suntik secara bersamaan dalam komunitas penasun dapat dihindari.

Meski pun sampai saat ini belum ada obat untuk HIV/AIDS, setidaknya melalui CST, di antaranya layanan terapi antiretroviral (ART) maka kesehatan ODHA dapat berlangsung lama. Sudah tentu, keberhasilan anti-retroviral (ARV) untuk meningkatkan kesehatan ODHA tergantung pada kepatuhan dan kontinuitas pengobatan. Dalam hal ini, obat harus diminum seumur hidup. Tak kalah penting tentang pemahaman efek samping, banyak dari mereka menghentikan terapi karena belum paham tentang efek samping. Hal ini seharusnya diinformasikan sebelum memulai terapi. Dengan intervensi yang cocok pada ODHA tentang pemahaman efek samping, maka akan mendorong kepatuhan mereka minum ARV Serta memberantas mitos dan persepsi yang salah tentang ART.

Butuh kedisiplinan dari ODHA untuk terus meminum obat tanpa terputus, Karena hal ini merupakan tantangan yang berat untuk ODHA. Untuk itu, menurut saya keberadaan seorang Sobat sangat dibutuhkan. Sobat adalah salah satu program untuk mendukung Odha patuh minum ARV. Sebab ODHA butuh dukungan yang berkesinambungan dan semangat besar agar meneruskan terapi.

Selain itu, akses untuk ARV pun harus dipermudah. Apalagi harga ARV cukup mahal. Tidak semua ODHA cukup mampu membeli obat. Sehingga untuk menjamin pasokan ARV bagi ODHA, intervensi pemerintah dibutuhkan. Misalnya dalam hal subsidi harga jika memang pemerintah tidak bisa menggratiskan. Hingga saat ini, pemerintah masih memberikan subsidi total pada penyediaan ARV. Karena itu semua ODHA masih bisa mengaksesnya. Tapi bagaimana kalau pemerintah tak lagi memberi subsidi?

Selain itu, faktor petugas kesehatan juga punya peran penting dalam menjamin ODHA bisa terus hidup dan berkarya. Selama ini, masih sedikit RS dan puskesmas di Indonesia yang bersedia menerima ODHA. Parahnya, sejumlah perawat dan dokter masih ada yang memperlakukan pasien ODHA secara diskriminatif. Hal ini, jika dibiarkan, bisa berakibat fatal terhadap ODHA. ODHA akan enggan untuk memeriksakan kesehatannya sehingga kualitas hidup ODHA akan menurun dengan drastis.

Sikap diskriminatif tenaga kesehatan ini akan menggagalkan upaya pencegahan epidemi AIDS. Karena itu, kalangan tenaga kesehatan perlu mendapatkan sosialisasi informasi yang benar mengenai HIV/AIDS dan juga sejumlah pelatihan terkait dengan pencegahan HIV/AIDS. Masyarakat pun harus menghilangkan stigma yang selama ini merugikan ODHA. ODHA sama halnya dengan kita yang sehat butuh bersosialisasi, bekerja untuk mempertahankan hidupnya. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?