11/05/2006

Bapak Ibu, Cobalah Percaya pada Remaja

Bapak Ibu, Cobalah Percaya pada Remaja

[IGN Pramesemara, Mahasiswa FK Unud, Relawan KISARA PKBI Bali]

Sering terjadi hubungan kurang harmonis antara orang tua (ortu) dan anak remajanya. Ada ortu mengeluh karena anaknya mulai bertingkah aneh. Atau sebaliknya keluhan remaja terhadap sikap ortunya yang melarang pacaran.

Situasi ini umum terjadi ketika ortu mulai mengeluhkan anak remajanya yang berubah menjadi “musuh dalam selimut” dengan sikap pemberontaknya. Bertolak belakang sekali ketika remaja masih masa balita dulu, di mana sangat penurut dan mudah untuk diarahkan oleh orang tuanya.

Usia remaja merupakan masa transisi menuju fase pendewasaan diri. Remaja dalam rentang kelompok umur 10-24 tahun (Kisara, 1994) adalah masa yang penuh gejolak jiwa, emosi dan psikologis yang labil, hingga sering terjadi konflik baik dari dalam diri maupun luar diri, terutama berkaitan dengan interaksi dengan ortu masing-masing.

Salah satu pemicunya adalah sikap ortu yang masih menganggap ”Anak Baru Gede (ABG)” layaknya anak kecil. Sebaliknya remaja merasa sudah dewasa, mampu mengatur diri sendiri. Mungkin di sinilah masalahnya.

Penyebab lainnya masih banyak ortu dan guru yang belum paham wawasan mengenai HIV/AIDS, Kesehatan Reproduksi dan Narkoba. Cara komunikasi orang tua dan guru yang cenderung kaku dan tidak terbuka turut memegang andil. Remaja menganggap curhat dengan teman sebayanya yang paling idea meski fakta informasi yang didapat sering kali tidak proporsional dan keliru.

Tak heran bila kejadian kriminal, penyalahgunaan narkotika, hubungan seks di luar nikah dan lainnya yang dilakukan oleh remaja meningkat terus setiap tahunnya. Data UNAIDS (2006) menunjukkan, sekitar 50 persen pengidap HIV di dunia berusia di bawah 25 tahun dari sekitar 44 juta kasus. Di Bali, berdasarkan data awal 2006 jumlah pengidap HIV/AIDS sebagian besar pada usia remaja (14-19 tahun). Sejak ditemukan pertama pada 1987, ternyata remaja (15-29 tahun) adalah kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibanding kelompok usia lain (KPAD Bali, 2006). Sebagian besar akibat kecanduan dan penyalahgunaan narkoba, serta aktivitas seksual aktif bebas dalam bertukar pasangan.

Tanggal 1 Desember nanti merupakan hari AIDS Internasional. Momen ini setidaknya bisa jadi momentum memikirkan kembali pola hubungan ortu dan anak, terutama berkaitan dengan masalah HIV/AIDS. Banyak kiat bisa diterapkan demi terciptanya keharmonisan dengan anaknya.

Diawali dengan usaha untuk menciptakan dan menjaga hubungan komunikasi yang baik antara ortu dengan anak remajanya. Jangan biarkan kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua pihak ini mengalir begitu saja. Karena itu, Ortu sebaiknya berinisiatif lebih awal untuk membuka obrolan dengan anak remajanya. Bicarakan masalah psikologis yang terjadi, berilah kepercayaan dan wujudkan keterbukaan, ”demokrasi dalam rumah”.

Kedua, cobalah responsif bahwa remaja bersikap menentang karena emosi yang belum mantap. Remaja cenderung menimbulkan masalah, sehingga ortu perlu peka menghadapinya. Kadangkala remaja merasa sudah dewasa untuk menentukan hidupnya, tanpa perlu mengindahkan rambu-rambu larangan. Maka beri kepercayaan disertai pertimbangan untuk memilah dan memilih keputusan bertanggung jawab dengan segala risikonya.

Selanjutnya, pahamilah gaya hidup remaja dengan sifat ingin tahu yang tinggi, suka coba-coba, iseng, gaul, trendy dan gagah-gagahan. Waspadalah bahwa berbagai sifat remaja tersebut, bisa saja malah menjerumuskan remaja ke arah yang salah, terutama berkaitan dengan seks dan narkoba. Padahal remaja sendiri belum sepenuhnya sadar dampak tingkah laku tersebut, sehingga bahayanya bisa memicu kerentanan terhadap resiko tertular infeksi menular seksual (IMS) bahkan HIV/AIDS. Sudah saatnya ortu membuka dialog lebih tentang dunia remaja.

Keempat, perlakukan remaja selayaknya dan jangan otoriter. Jangan memperlakukan seperti ”bayi raksasa”, karena remaja sering merasa dirinya telah dewasa. Jika remaja punya adik kecil, usahakan tak memberlakukan aturan yang sama. Bijaksana pun perlu dikembangkan ortu dengan mengajarkan untuk bersikap wajar tanpa berkesan berlebihan, apalagi sampai merugikan orang lain. Non otoriter (Otoritatif) bisa dicoba ketika remaja tertarik kepada lawan jenis. Hendaknya ortu menyadari bahwa masa pacaran hanyalah suatu proses perkenalan.

Tak kalah penting adalah menanamkan sifat sabar, kalau remaja terlihat mulai suka berbohong ataupun kritis terhadap nasehat hidup, janganlah melabraknya langsung. Ciptakan atmosfer untuk memberikan kesempatan pada remaja memahami kesalahan dan bagaimana memperbaikinya. Hendaknya jangan ”ringan tangan” atau terkesan mendesak agar segera mengakui kesalahannya. Ingat, semakin dilarang maka semakin penasaran remaja untuk mendobrak aturan tersebut. Semakin didesak, maka makin kuat pula tameng remaja.

Kemudian berusahalah mentransfer pengalaman-pengalaman hidup ortu yang sesuai. Hal ini janganlah terabaikan guna mempersiapkan konstruksi sosial remaja sejak dini. Sampaikan etika, nilai norma kehidupan dan etos disiplin sejak balita agar terbentuk pola pikir remaja yang teratur. Remaja sudah cukup siap dan mampu secara serius mempelajari masalah sosial dan mempertanyakan nilai moral secara lebih mendalam.

Terakhir, jangan lupa secara intensif mendorong remaja melakukan aktivitas sosial dan kesibukan positif lain yang bermanfaat meningkatkan rasa percaya diri. Cara lainnya adalah tidak melarang realisasi hobi, mengembangkan potensi dan minat-bakat remaja sepanjang itu menyenangkan dan positif. Ingat, bahwa pada usia ini berkembang pesat kemampuan berpikir tentang konsep abstrak dan kepekaan terhadap sesuatu hal.

Semoga semua ini telah membuka tabir hubungan Ortu dan anak remajanya. Sehingga cita-cita mulia untuk membentuk keluarga kecil yang berkualitas sebagai tumpuan masa depan dapat tercapai. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?