11/19/2006

Tuntutan Pengembangan Program Methadone di Bali

Tuntutan Pengembangan Program Methadone di Bali

[Yahya Anshori, Relawan KPA Provinsi Bali]

Beberapa tahun ini, kasus pemakaian narkoba suntik kian meroket. Heroin yang awalnya dipakai dengan cara dihisap, belakangan dipakai dengan cara disuntikkan. Sejalan dengan meningkatnya pemakaian narkoba suntik, kasus HIV di kalangan injecting drug user (IDU) pun cenderung meledak. Menurut data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali, sekitar 46 persen dari 1500 kasus HIV/AIDS di Bali berasal dari kalangan IDU. Sedangkan jumlah sebenarnya pengidap HIV di Bali saat ini sekitar 3000 orang, 1900 orang di antaranya tertular virus melalui jarum suntik.

Karena penyebaran HIV di kalangan IDU sangat cepat, maka muncul pendekatan harm reduction (HR). Program HR meliputi beberapa strategi kegiatan, yaitu: (a) Program substitusi obat methadon (juga merupakan bagian dari demand reduction); (b) Program penjangkauan dan pendidikan sebaya; dan (c) Program pertukaran jarum suntik (Depkes RI, 2003).

Merespon penularan HIV melalui IDU atau pengguna narkoba suntik (penasun), Dinkes, Badan Narkotika Provinsi (BNP), dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali mengembangkan pilot project program subtitusi obat metadon. Di Bali program ini dilaksanakan Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar yang melayani penasun, baik yang datang atas inisiatif sendiri maupun dirujuk LSM penanggulangan AIDS di Denpasar dan sekitarnya. Program subtitusi metadon juga tersedia di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan untuk melayani penasun yang sedang menjalani hukuman di penjara tersebut.

Di samping ingin memutus kebiasaan menyuntik narkotik, program rumatan metadon (PRM) juga bertujuan mendukung klien agar berhenti sama sekali memakai narkoba suntikan. Namun tidak semua pecandu narkoba diikutsertakan dalam PRM. Sasaran kerja PRM diprioritaskan pada mereka yang benar-benar mengalami ketergantungan opioid yaitu dengan menggunakan jarum suntik.

Program metadon di Bali dikembangkan sesuai standard operational procedure (SOP) organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Depkes RI. Pelayanan PRM baik di Sanglah, Lapas Kerobokan maupun Puskesmas Kuta 1 dilakukan secara holistic yaitu pelayanan dengan memperhatikan kebutuhan biologis, psikologis, sosial, cultural dan spiritual. Kegiatan biologik yang dikembangkan di klinik metadon meliputi: layanan obat metadon (oral), pemantauan kesehatan fisik oleh dokter umum, sistem rujukan ke poliklinik atau bagian lain di RS Sanglah, pemeriksaan laboratorium darah (tes fungsi hati), hepatitis B,C HIV, darah lengkap, urine opiate, serta distribusi kondom gratis.

Kegiatan psikologik meliputi pemeriksaan oleh psikiater, layanan konseling (umum, adiksi, dukungan), layanan voluntary, concelling, and testing (VCT) atau layanan konsultasi dan tes HIV secara suka rela, support group, cognitive behavioral therapy (CBT) atau terapi perubahan perilaku, pertemuan klien, dan family support. Kegiatan sosial organisasi klien, termasuk mengikutsertakan klien dalam pelatihan keterampilan yang didukung oleh Dinas Sosial. Selain itu, kegiatan budaya-spiritual yang diterapkan di klinik adalah kegiatan yang berorientasi kepada upaya pengembangan potensi dan bakat peserta PRM, dan aktiftas ritual bersama.

Cakupan klien progam metadon di Bali sekitar 200 orang. Sampai 31 Juli 2006, jumlah klien PRM yang ditangani oleh PRM RS Sanglah 299 orang, termasuk klien yang sudah tidak berhenti mengikuti PRM.

Hasil evalusi penerapan PRM di RS Sanglah menunjukkan bahwa klien memperoleh manfaat: (a) secara bertahap mereka dapat memutus ketergantungannya memaki heroin dan dapat meningkatkan derajat kesehatannya (berat badan meningkat, pemakaian heroin menurun); (b) mereka mampu menangani masalah sosial-psikologis. Dengan konseling yang diberikan, peserta PRM menjadi lebih komunikatif; (c) perilaku kriminal peserta PRM menurun (kriminal di dalam rumah dari 79,65 persen menjadi 7,08 persen, kiminal di luar rumah dari 13,27 persen turun jadi 2,65 persen; (d) aktivitas sosial klien bisa ditingkatkan (Hanati, 2006).

Untuk menekan penularan virus HIV melalui jarum suntik, pengembangan PRM terbukti cukup efektif. Karena itu, program PRM perlu dikembangkan. Apalagi cakupan program PRM di Bali yang masih terbatas, yakni hanya menangani sekitar 200 pecandu narkoba (atau sekitar 11 persen dari sekitar 1900 pupulasi IDU di Bali). Untuk itu, KPA Bali terus mendukung upaya pengembangan klinik methadon. Dalam periode semester II 2006 ini KPA Provinsi Bali sudah membuka dua unit klinik PRM, yaitu: pertama, di Puskesmas Kuta yang didukung pendanaanya oleh KPA Provinsi Bali dan KPA Kabupaten Badung serta bantuan dari AusAID (IHPCP II) dan WHO. Kedua, rencana pendirian klinik methadon di Puskesmas II Denpasar Barat, Abiantimbul yang didukung KPA Provinsi Bali dan KPA Kota Denpasar serta bantuan dari AusAID (IHPCP II) dan WHO.

PRM terbukti berpengaruh positif bagi klien program. Di samping mampu meningkatkan derajat kesehatan peserta (berat badan meningkat, pemakaian heroin menurun), PRM juga mampu menumbuhkan kepercayaan diri peserta untuk menangani masalah sosial-psikologis yang mereka hadapi dan menekan perilaku kriminal yang mereka lakukan. Selain itu, PRM juga mampu mereduksi ancaman penularan HIV melalui pemakaian jarum suntik bersama di kalangan para IDU.

Sejalan dengan semakin meningatnya kasus penyalahgunaan narkoba suntik di Bali, klinik-klinik PRM di tingkat Kabupaten/Kota juga perlu dikembangkan. Menguatnya komitmen Pemda kabupaten/kota di Bali dalam mereduksi masalah HIV/AIDS dan narkoba, antara lain perlu diwujudkan dengan membentuk layanan PRM, baik oleh RSUD maupun Puskesmas setempat. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?