11/27/2006

Hentikan Stigma pada Mantan Pecandu Narkoba

Hentikan Stigma pada Mantan Pecandu Narkoba

[Yusuf Rey Noldy, Konselor VCT Yayasan Hatihati, Mantan Pecandu]

Sejak disusun dan disetujui oleh 140 negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia Menteri Kesehatan pada Januari 1988 di London, Inggris, hari AIDS se-Dunia terus diperingati tiap tahun. Hari tersebut digunakan sebagai kesempatan bagi pemerintah, LSM dan organisasi lain untuk menunjukkan pentingnya terlibat dalam penanggulangan AIDS. Tahun ini, hari AIDS se-Dunia (HAS) dipertingati dengan tema sama, Tepati Janji Stop AIDS. Tepati janji ini untuk menepati janji penanggulangan AIDS pada semua kalangan, termasuk pada pecandu narkoba. Sebab kelompok ini masih mendapat cap buruk, hingga saat ini.

Stigma atau cap buruk di kalangan pecandu narkoba masih jadi momok menakutkan bagi yang mengalami hal ini. Seringkali stigma muncul walau pecandu itu sudah berhenti menggunakan narkoba. Perlakuan tidak menyenangkan yang sering diterima mantan pecandu itu mulai anggapan masyarakat bahwa mereka hanya si pembuat masalah dan sumber penularan virus humman immunodeficiency virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuha atau acquired immune deficiancy syndrome (AIDS). Bahkan ada pecandu narkoba yang dikucilkan masyarakat.

Kita semua tahu bahwa pada saat mereka masih aktif menggunakan narkoba seringkali mereka membuat masalah. Entah itu berdampak pada keluarga atau bahkan pada masyarakat sekitar. Tetapi apakah kita harus terus menerus menstigma mereka padahal mereka sudah tidak berada dalam dunia kecanduan?

Tidak ada orang yang bercita-cita jadi pecandu, termasuk pecandu itu sendiri. Mereka juga tak pernah bercita-cita jadi Orang dengan HIV/AIDS (Odha). Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa apa yang dilakukannya selama menjadi pecandu akan mendatangkan petaka. Dunia adiksi (kecanduan) tidak mengenal suku, ras, agama, kasta, maupun pekerjaan. Bahkan hal yang boleh dibilang terhormat sekalipun tidak menjamin bisa bebas dari pengaruh narkoba. Salah dalam melangkah berarti membuka peluang kita melangkah ke dalam dunia kecanduan.

Sebelum program pertukaran jarum suntik (NEP) dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM), penggunaan jarum suntik secara bergantian sering dilakukan pengguna narkoba suntik (penasun). Hal inil mengakibatkan lonjakan kasus HIV/AIDS di kalangan penasun sangat tinggi. Mereka tidak menyangka perilaku penggunaan jarum suntik bergantian dengan sesama penasun jadi masalah serius bagi mereka di kemudian hari.

Informasi dan layanan paket pencegahan seperti jarum suntik steril terkait HIV/AIDS seperti sekarang belum tersedia pada tahun 1990. Padahal saat itu harga barang yang relatif terjangkau ditambah barang putaw (heroin) yang beredar “membanjiri” Denpasar dan Kuta. Yang terjadi adalah jumlah penasun kian melonjak dan pada akhirnya kasus HIV/AIDS “tersembunyi” di kalangan penasun.

Masalah kemudian muncul setelah satu persatu di antara penasun tersebut diketahui terinfeksi HIV/AIDS. Semua orang seperti baru sadar bahwa ada masalah serius pada kalangan penasun. Tetapi kesadaran tanpa reaksi dan tindakan nyata tidak bisa membendung laju penularan HIV di kalangan penasun. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali, kasus HIV/AIDS di Bali diperkirakan ada 3000 orang. Namun sampai September 2006 kasus yang terdata ada 1136 orang. Sekitar 45 persen dari pengguna narkoba suntik (Tabloid Kulkul - Oktober 2006).

Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini sebuah keterlambatan layanan program? Atau keterlambatan kepedulian terhadap kesehatan masyarakat? Andai layanan yang tersedia seperti saat ini berlaku sejak 1990, mungkin lonjakan kasus HIV/AIDS tidak sebanyak ini.

Sesungguhnya para penasun tidak mengetahui ini bakal terjadi pada mereka. Kalau mereka tahu tahu informasi HIV/AIDS seperti sekarang ini, yang gencar dikampanyekan oleh semua pihak, tentu mereka akan berpikir 1000 kali untuk mencoba memakai narkoba. Mereka pun tidak ingin menularkan virus mereka pada orang lain, tetapi karena ketidak-tahuan mereka akan informasi HIV/AIDS, tanpa sadar mereka menularkan virus itu pada sesama penasun, pacar, pasangan seks, istri dan bahkan kepada anak yang mereka sayangi.

Sebagian besar mantan pengguna narkoba kini mengabdikan dirinya di LSM penanggulangan narkoba maupun HIV/AIDS. Mereka semua menyadari bahwa apa yang dilakukan di masa lalu adalah hal yang paling menyedihkan dalam hidupnya. Tetapi mereka semua membuktikan bahwa mereka peduli dan mau ikut terlibat dalam menangani masalah ini. Masa lalu adalah pelajaran berharga bagi mereka sekaligus bisa mereka “bagikan” pada generasi muda yang masih belum tahu menahu akan dunia kecanduan.

Lalu apakah stigma yang terjadi pada mantan penasun masih melekat pada Anda? Apakah kala sudah hitam selamanya pasti hitam? Mantan pecandu sudah berusaha keluar dari dunia gelap. Sekarang apakah kita siap menuntun dan menerangi mereka dengan kepedulian kasih. Tentu jawaban ini hanya Anda yang akan bisa jawab. Dukungan dari masyarakat sangat berarti bagi mereka. Sebab stigma dan diskriminasi bagaikan “ tsunami” bagi mereka. Toh mereka tidak pernah surut menjalankan aktivitas-aktivitas. Karena akvifitas tersebut merupakan kebutuhan dari pemulihan agar bisa mengisi hari-hari mereka dan mampu mengendalikan diri dari pengaruh penyalahgunaan narkoba kembali.

Perlu kita pahami bahwa seorang mantan pecandu tidak bisa “memaksa” suatu keadaan yang terjadi di masyarakat untuk memihak kepada mantan pecandu. Ini hanya bagian dari refleksi diri kepada masyarakat (pembaca) bahwa, “Yang hitam tidak selamanya hitam”. Kepada para mantan pecandu, “Jangan pernah menyerah, karena keajaiban tidak datang tanpa usaha.” Semoga semua ini bisa jadi bahan untuk renungan, aksi, dan perubahan pada hari AIDS sedunia 1 Desember 2006 nanti. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?