12/14/2006

Isolasi dan Label bagi Odha Bukan Solusi

Isolasi dan Label bagi Odha Bukan Solusi

[Yusuf Rey Noldy, Konselor Yayasan Hatihati Denpasar]

Seorang laki-laki paruh baya bercerita pada saya tentang human immunodeficiency virus (HIV), virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan penyebab munculnya kumpulan sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, biasa disebut acquired immuno deficiency syndrome (AIDS). “Ternyata angka kasus HIV di Bali sangat tinggi ya. Apakah mereka yang sudah terinfeksi tidak diisolasi saja biar tidak menyebar ke anggota masyarakat yang belum terkena,” katanya.

Saya jawab bahwa hal itu sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), laki-laki itu menjawab tanpa beban. “Ya, kalau kita kaitkan dengan masalah HAM persoalan ini tidak akan selesai,” katanya santai. Saya terdiam mendengar pernyataan pria itu. “Begitu mudahkah kebebasan orang dirampas hanya karena statusnya positif HIV?” tanya saya dalam hati.

Pada kesempatan lain dalam penyuluhan di salah satu institusi pemerintah, tanggapan salah satu peserta membuat saya kaget. “Sebaiknya orang yang terinfeksi HIV diberi semacam label atau tanda bahwa dia terinfeksi HIV,” katanya. Pertanyaan kemudian muncul dari pengalaman saya di atas, “Apakah isolasi dan pemberian label pada Orang dengan HIV/AIDS (Odha) juga menyelesaikan masalah?” Jelas tidak!

Pasal pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB menyebut, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.” Pasal 3 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Apabila kita kaitkan dengan masalah di atas jelas bahwa Odha mempunyai hak yang sama seperti orang yang tidak terinfeksi HIV.

Apakah mengurung Odha dalam ruangan atau akan menyelesaikan masalah? Apakah pemberian label pada Odha manusiawi? Bagaimana apabila hal ini terjadi pada istri, anak, pacar atau bahkan keluarga kita? Apakah kita akan “mengurung” mereka? Atau kita dengan tega memberikan label kepada mereka, “Saya terinfeksi HIV”!!

Kalau kita melakukan hal itu berarti kita mengulang kembali masalah awal di mana Odha akan merasa tersisih, terpinggirkan, dan mereka tidak akan mau terbuka terkait dengan status HIV. Ini akan jadi masalah lebih rumit lagi. Pada akhirnya kita hanya bisa menebak kasus-kasus HIV yang tersembunyi jauh lebih besar karena ketakutan Odha terhadap pengucilan atau pengisolasian yang terjadi di masyarakat.

Sejak ditemukannya kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 sampai sekarang, seharusnya masalah seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Sudah 19 tahun pemerintah menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS tetapi hal ini masih sering terjadi di masyarakat kita. Hal yang seharusnya terjadi adalah bagaimana kita menanggulangi masalah ini secara bijak tanpa melukai hak maupun perasaan teman-teman Odha. Ini pun juga berlaku pada Odha di mana mereka bisa menjaga status mereka agar tidak menularkan HIV pada orang lain.

Upaya pendekatan dan penyadaran seperti ini jauh lebih manusiawi dibandingkan kita harus mengurung mereka dalam “sangkar” dan memberikan mereka “label”. Bagi saya hal ini tidak menyelesaikan malah justru menambah masalah. Kita malah mundur jauh beberapa langkah dari apa yang sudah kita lakukan. Teman-teman Odha sudah “terpuruk” dengan keadaan yang mereka alami, apakah kita akan menindas mereka sampai benar-benar “tiarap” tanpa memikirkan perasaan mereka?

Perlu kita tahu bahwa semua Odha tidak pernah bercita-cita jadi Odha. Mereka semua mempunyai cita-cita yang sama seperti orang yang bukan HIV sewaktu mereka kecil. Tapi kenyataan berkata lain. Mereka harus menerima keadaan yang tidak pernah mereka bayangkan.

Menurut saya, masih adanya kesalahpahaman tentang HIV/AIDS ini muncul akibat kurangya minat dan kepedulian masyarakat pada masalah HIV/AIDS. Hal ini saya lihat pada kegiatan kampanye penyebaran informasi HIV dan AIDS yang dilakukan 5 Desember 2006 lalu. Sepanjang jalan yang saya lewati, sebagian brosur yang disebar oleh teman-teman dari LSM dan Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) banyak yang tercecer atau berserakan. Pemandangan itu sangat memprihatinkan bagi saya. Sebab itu menunjukkan masyarakat belum tertarik membaca informasi tentang HIV/AIDS.

Hal ini mengundang tanya pada diri saya. Apakah masyarakat kita memang sudah paham sehingga tidak memerlukan informasi HIV/AIDS? Ataukah memang nilai kepedulian masyarakat kita terhadap masalah ini memang kalah jauh dibandingkan dengan informasi selebritis yang setiap harinya menghiasi media-media massa kita? Padahal saat ini kita sedang berada dalam sebuah ancaman serius yang sewaktu-waktu bisa “melenyapkan” satu per satu generasi muda kita. Sayang memang kadang niat baik tidak sepenuhnya bisa diterima dengan baik. Padahal informasi tersebut adalah hal berharga yang seharusnya bisa dipahami, dimengerti, dan didukung oleh semua lapisan masyarakat. Sebab kalau tidak maka program-program pemerintah dan LSM akan sia-sia saja.

Untuk diketahui bahwa Bali sering dijadikan acuan oleh provinsi-provinsi lain di Indonesia terkait program-program pencegahan HIV/AIDS. Ini berarti program yang selama ini dilakukan sudah tepat dan bermanfaat. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mendukung dan berperan dalam program yang sudah ada maupun yang akan dikembangkan untuk memotong laju epidemi HIV di Bali.

Dalam memperingati hari HAM 10 Desember ini kita seharusnya lebih mengerti dan paham bahwa setiap orang mempunyai hak-hak yang sama. Seharusnya kita saling mengerti dan memahami terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi di kehidupan kita. Perbedaan memang sering kita alami sebagai manusia karena kalau kita tidak mengalami hal ini berarti kita tidak hidup melainkan mati. Jadi kita tidak harus merampas kemerdekaan hidup, kebebasan bergaul antara satu manusia dengan manusia lainnya karena setiap manusia dilahirkan mempunyai hak dan hati nurani.

Untuk itu mari kita saling bergandengan tangan, bergaul satu dengan yang lain tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, ataupun status mereka untuk mewujudkan semangat persaudaraan. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?