1/02/2007

Melibatkan Musisi dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Melibatkan Musisi dalam Penanggulangan HIV/AIDS

[Anton Muhajir, anggota Komunitas Jurnalis Peduli AIDS Bali]

Musisi punya cara tersendiri untuk terlibat dalam penanggulangan acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat human immunodeficiancy virus (HIV). Mereka jelas punya massa yang tak sedikit. Nanoe Biroe misalnya punya Baduda yang jumlahnya paling tidak mencapai 40.000 di Bali. Karena itu musisi jelas bisa mempengaruhi orang lain, terutama fans berat mereka. Katakanlah seperti Baduda Nanoe Biroe yang memang fenomenal itu.

Melihat potensi tersebut, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali pun berusaha merangkul musisi Bali dalam program Aku Ingin Terlibat. Program Aku Ingin Terlibat sebenarnya membidik semua public figure di Bali. Tidak hanya musisi tapi juga seniman lukis, teater, sastrawan, dan seterusnya. Namun untuk saat ini, musisi yang jadi prioritas karena kemampuan mereka mempengaruhi orang serta banyaknya massa mereka.

Secara tidak langsung, keterlibatan musisi ini sudah terjadi misalnya pada konser amal Rock on for AIDS Desember 2005 lalu serta Rock on for AIDS II Desember 2006 lalu. Pada beberapa konser lain pun demikian. Masalahnya pada konser itu masih sedikit musisi yang bisa berbicara tentang HIV/AIDS. Musisi masih jadi semacam daya tarik untuk peduli tapi belum berbicara tentang persoalan itu secara langsung.

Maka, pertengahan Desember lalu KPA Bali mengadakan pelatihan tentang HIV/AIDS bagi musisi Bali. Pelatihan di Gallery Griya Santrian Sanur itu melibatkan musisi kelas atas Bali seperti antara lain Nanoe Biroe, Lolot, Joni Agung, Jun Bintang, Desy Ladies Room, Gus Adi Endium, Wicak Puzzle, dan Ayu Saraswati. Sebagai fasilitator ada Mercya Soesanto dari KPA Bali dan Oka Negara dari Kita Sayang Remaja (Kisara), LSM yang selama ini intens memberikan informasi tentang HIV/AIDS dan narkoba terutama pada remaja.

Selama setengah hari mereka mendapat tambahan ilmu tentang HIV/AIDS. Misalnya kenyataan bahwa HIV/AIDS tidak lagi hanya pada kelompok tertentu seperti pengguna narkotika suntik, pekerja seks komersial (PSK), pelanggan PSK, atau mereka yang punya orientasi seks sejenis. Di Bali, HIV/AIDS juga terjadi pada anak-anak dan ibu rumah tangga yang tak pernah menggunakan narkoba suntik atau berganti pasangan. Buktinya ada Ikha Widari yang hari itu memberikan testimoni di depan musisi-musisi tersebut. Ika, panggilan akrabnya, tertular HIV dari suaminya.

Selain testimoni, pelatihan itu juga diisi pengetahuan tentang apa itu HIV/AIDS, cara penularan HIV, cara pencegahan HIV/AIDS, dan bagaimana musisi bisa terlibat dalam penanggulangan.

“Aku Ingin Terlibat adalah salah satu contoh bagaimana kita merespon secara positif terhadap tantangan HIV/AIDS. Melalui kegiatan ini para musisi akan jauh lebih mengerti tentang HIV/AIDS. Mudah-mudahan realita yang ada akan menggugah kepedulian mereka untuk menyuarakan kesadaran tentang HIV/AIDS. Bahkan mereka akan menunjukkan kepedulian itu melalui karya-karya mereka,” kata dr Oka Negara, salah satu fasilitator pelatihan.

Oka menambahkan saat ini HIV/AIDS telah menginfeksi 3000 orang di Bali. “Makin banyaknya virus ini dari tahun ke tahun menuntut keterlibatan banyak pihak untuk bersama-sama melakukan aksi nyata untuk mengurangi laju penyebaran HIV,” kata Oka. Dalam skala nasional, posisi Bali tidak pernah bergeser dari urutan lima besar sebagai provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS. Data ini makin meningkat sejak pertama kali ditemukan pada 1987.

Musisi peserta pelatihan itu sendiri mengaku antusias dengan pelatihan tersebut. “Kami jadi lebih tahu tentang HIV/AIDS dibanding sebelumnya,” kata Nanoe Biroe. Namun menurut Nanoe akan lebih berarti kalau pengetahuan itu bisa dipakai untuk mengubah orang lain. “Akan lebih bagus kalau kami bisa mengubah perilaku orang lain. Misalnya yang semula pakai narkoba kemudian berhenti pakai. Yang semula merasa keren karena pakai narkoba jadi merasa bahwa memakai narkoba itu tidak keren sama sekali,” katanya.

Hal yang sama dikatakan penyanyi lain. Lolot mengaku testimoni yang disampaikan Ika mungkin jadi inspirasi untuk membuat lagu tentang HIV/AIDS. Demikian pula Jun, vokalis Bintang. Pada album kedua dan ketiga, ada beberapa lagu Bintang bertemakan narkoba seperti Rambo Olo-Olo. Isinya kurang lebih tentang seseorang yang memakai narkoba. “Pelatihan ini sangat penting agar pada saat manggung nanti nggak perlu ragu nyampein informasi tentang HIV/AIDS,” kata Jun.

Inilah yang memang jadi harapan sejak awal. Bahwa kepedulian para musisi Bali itu akan diwujudkan dalam tiap aksi dan karya mereka. “Dengan begitu bisa memberi kesejukan terhadap cara pandang, sikap, dan perilaku untuk melindungi diri dan orang lain dari HIV serta melahirkan kepedulian kemanusiaan,” ujar Oka Negara.
Keterlibatan musisi ini jadi bukti bahwa setiap orang dengan talenta, kemampuan, dan peran masing-masing dapat ambil bagian dalam penanggulangan HIV/AIDS di Bali. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?