1/03/2007

SENI untuk menekan Stigma dan Diskriminasi

SENI untuk menekan Stigma dan Diskriminasi

[Nicholas Alfendro, Koordinator SENI wilayah Bali]

Kata-kata memiliki keterbatasan sebagai alat komunikasi. Padahal komunikasi adalah hal terpenting untuk berdialog, untuk mengurangi kesalahpahaman. Maka, seni adalah salah satu metode untuk berdialog dengan cara lain. Apakah itu seni rupa, seni suara, atau seni dalam bentuk apa pun. Seni adalah sesuatu yang universal. Hal inilah yang mendasari lahirnya SENI yaitu jaringan kerja mandiri untuk menekan stigma dan diskriminasi dalam persoalan HIV/AIDS.

SENI bekerja sama dengan masyarakat untuk mengadvokasi kesadaran terhadap HIV/AIDS dengan menggunakan seni sebagai pertukaran bahasa. Sebab orang yang memiliki informasi dengan benar, mampu menentukan pilihan mereka sendiri. Seni merupakan bahasa yang bersifat pribadi untuk masing-masing dari kita. Bagaimana pun juga kita berharap kita dapat berhubungan satu sama lain melalui bahasa seni. Jadi apa pun pandangan Anda, masalah sosial, ekonomi, budaya, lingkungan atau apapun bahasa dan dialek yang anda gunakan, tidak satupun dari semua hal tersebut sebanyak seperti penjelmaan visual yang kita gunakan.

Kelompok ini terdiri dari Tim Inti yang memiliki pengetahuan tentang HIV dan AIDS. Namun SENI juga bekerja sama dengan masyarakat baik itu siswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), banjar, serta dokter di Gianyar dan Denpasar. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran terhadap persoalan HIV/AIDS. Bentuk seni itu dilakukan melalui seni publik, kostum seni, dan pameran lukisan tim inti dari Sulawesi dan Bali. SENI mengadvokasi kesadaran akan HIV/AIDS melalui bahasa seni.

Pada peringatan hari AIDS se-Dunia 1 Desember lalu pun SENI melibatkan diri. Dari tahun ke tahun tema hari AIDS sedunia berpusat pada masalah gender, keterlibatan lebih besar pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), stigma, diskriminasi, dan kesehatan. Hal ini pun jadi perhatian SENI.

Dari tahun ke tahun makin terlihat komitmen pemerintah. Komitmen pemerintah itu misalnya bisa dilihat dari pernyataan wakil presiden Jusuf Kalla di media massa yang menyatakan, “Tidak berdosa untuk memakai kondom, ini lebih baik untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Jika ada yang keberatan, beritahu mereka kalau itu perintah saya.” SENI berharap penyataan tersebut dapat mendukung kesetaraan gender dan mengurangi kerusakan.

Namun persoalan HIV/AIDS tetap memerlukan perhatian dari semua kelompok masyarakat. Karena itulah tim inti SENI berkimitmen untuk berkolaborasi dengan masyarakat umum dengan cara secara terus menerus menambah pengetahuan agar mampu memberikan informasi yang benar dengan kepekaan terhadap budaya sekitar dan agar orang-orang dapat menentukan pilihannya sendiri.

Keterlibatan masyarakat umum merupakan bagian dari Pengembangan Budaya Komunitas atau Community Culture Development (CCD). Pola ini telah digunakan di seluruh dunia selama sepuluh tahun. Pada Agustus 2006 Jambore Jangkar yang kedua di Makasar, proses SENI diperkenalkan. Setelah itu SENI baru dibentuk. Peserta yang terlibat di Jambore Makassar menyadari bahwa seni sebagai pertukaran bahasa dapat membuat suatu perubahan untuk mengurangi kerusakan, stigma dan diskriminasi.

Melalui dukungan dan sponsor dari GloballyAware, Jaringan Kerja Harm Recution (Jangkar), Yayasan Matahati, dan CW Printing, masyarakat umum dan tim inti telah mengadakan pelatihan visi Proses Seni di Ubud Bali November lalu.

Rencananya SENI akan menyelenggarakan pelatihan di Bali sepanjang 2007 dengan melibatkan siswa, banjar, dan masyarakat umum. Saat ini tim inti sedang merancang pelatihan 10 hari di Yogyakarta untuk melanjutkan peningkatan pengetahuan mereka. Pelatihan ini melibatkan masyarakat umum. Selain itu pada Mei nanti akan ada pelatihan di Papua untuk Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN).

Semua kegiatan dilakukan agar masyarakat makin peduli pada persoalan HIV/AIDS. Dan, nantinya makin mengurangi stigma dan diskriminasi. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?