12/26/2006

Lapas Kerobokan untuk Mengubah Lebih Baik

Lapas Kerobokan untuk Mengubah Lebih Baik

[dr AA Gede Hartawan, Ketua Pokja Lapas Klas IIA Kerbokan Denpasar]

Awalnya, HIV/AIDS hanya dikenal di kalangan kelompok yang berperilaku seksual suka berganti pasangan. Karena itu muncul anggapan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Kerobokan pun seolah-olah tak tersentuh persoalan HIV/AIDS. Namun ketika ditemukan kasus pertama pada 2000 di Lapas Kerobokan, semua pihak tersentak. Apalagi waktu itu, kasus HIV/AIDS di Lapas jadi kasus terbanyak di Bali meski “hanya” 35 orang.

Besarnya kasus HIV/AIDS tersebut ditemukan melalui sero survey Dinas Kesehatan Bali. Besar kemungkinan mereka yang positif HIV ketika di penjara, sebenarnya tertular ketika masih aktif menggunakan narkoba suntik dengan bergantian jarum di luar Lapas. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa penularan pun terjadi ketika warga binaan tersebut sudah di penjara. Selain itu ada pula asessment oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan HIV/AIDS di Bali tentang perilaku penasun yang berisiko menularkan HIV melalui jarum suntik.

Publikasi adanya HIV/AIDS di Lapas oleh media tanpa disertai penjelasan yang cukup membuat warga binaan dan keluarganya pun khawatir. Padahal ketakutan itu terlalu erlebihan. Human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) tidak menular melalui kontak sosial, termasuk di dalam penjara bersama. HIV hanya menular melalui hubungan seks tanpa kondom, pemakaian jarum suntik bergantian, dan dari air susu ibu ke anak.

Namun ditemukannya kasus dan munculnya kekhawatiran warga binaan dan keluarga itu mendorong beridirnya Kelompok Kerja Penanggulangan AIDS di Lapas Kerobokan, biasa dikenal sebagai Pokja Lapas. Pokja Lapas ini digagas pada Juni 2003 dan diresmikan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali pada Februari 2004.

Strategi yang diterapkan adalah menyadarkan warga binaan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Strategi ini dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan tentang HIV/AIDS. Misalnya apa itu HIV/AIDS, penularannya, pencegahan, hingga kesehatan reproduksi secara umum. Penyuluhan rutin ini diberikan oleh LSM penanggulangan AIDS, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, maupun Pokja Lapas sendiri. Tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman tentang HIV/AIDS. Selain itu juga untuk menghapus stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Strategi kedua adalah dengan menerapkan kesinambungan program. Penjara adalah tempat orang keluar masuk. Warga binaan sering kali berganti. Karena itu perlu adanya transfer pengetahuan tentang HIV/AIDS antar-napi. Dibentuklah peer educator atau pendidik sebaya. Warga binaan yang sudah mengerti tentang HIV/AIDS memberikan pengetahuannya pada warga binaan baru. Ketika baru dibentuk pada 2002, sudah ada 20 pendidik sebaya ini.

Setelah berjalan selama tiga tahun lebih, program-program itu pun terasa hasilnya. Bagi sebagian orang mungkin hasilnya belum memuaskan. Hal ini wajar. Penilaian orang bisa berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan alasannya. Namun sebagai salah satu yang terlibat sejak awal hingga saat ini dalam persoalan tersebut, saya menilai sudah banyak kemajuan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Lapas Kerobokan.

Pertama adanya pengetahuan tentang HIV/AIDS di kalangan warga binaan. Pengetahuan ini dibuktikan dengan kesadaran mereka untuk tes HIV. Warga binaan yang sadar punya perilaku berisiko tinggi seperti berganti pasangan seks tanpa kondom dan bertukar jarum suntik saat pakai narkoba pun banyak yang minta agar dites. Semula tes HIV hanya bisa dilakukan dua bulan menjelang keluarnya warga binaan bersangkutang karena belum adanya infrastruktur seperti konselor, obat anti-retroviral (ARV), dan obat IO. Namun sejak 2004, tes ini sudah bisa dilakukan karena sudah ada konselor dan ARV.

Kedua adanya pelayanan bagi kelompok berisiko. Penasun yang ada di penjara sekarang diberikan terapi methadone untuk menghilangkan kebiasaan menyuntik heroin. Secara rutin juga ada tes kesehatan bagi mereka. Program voluntary conselling and testing (VCT) maupun care and support treatment (CST) pun terus berjalan.

Namun perubahan paling penting adalah adanya perubahan sikap pada Odha maupun oleh Odha sendiri. Odha tidak lagi diperlakukan sebagai kelompok lain. Tidak lagi ada diskriminasi dan sitgma pada Odha. Sedangkan Odha sendiri makin punya inisiatif dan terlibat dalam program ini. Melalui semua program itu, Lapas telah menjadi tempat untuk mengubah sesuatu agar lebih baik. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?