1/21/2007

Diperlukan Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja

Diperlukan Pendidikan Seks yang Benar untuk Remaja

[IGN Pramesemara, Mahasiswa FK Unud, Relawan KISARA PKBI Bali]

Lebih dari sepertiga masalah pacaran ke telepon KISARA PKBI Bali hingga Desember 2006 berkaitan dengan aktivitas seksual remaja. Terdapat kecenderungan remaja baru berkonsultasi setelah melakukan aktivitas seksual aktif. Remaja berhubungan seksual pranikah karena coba-coba dan tanpa direncanakan, terbawa suasana, dan adanya dorongan seksual akibat pengaruh media pornografi. Dalam konseling tatap muka juga ada remaja kelas 2 SMP yang melakukan kebiasaan masturbasi berlebihan. Awalnya kebiasaan ini pun karena coba-coba akibat ajakan dan pengaruh teman-teman sebayanya.

Contoh itu hanyalah sengelintir dari permasalan remaja berkaitan dengan aktivitas seksual. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual (trauma), hubungan seksual pra nikah (HSPN), kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja, pernikahan dini (usia muda), penyalahgunaan narkoba hingga kriminalitas para remaja, yang nampaknya masih belum banyak diangkat dan dibahas secara mendalam. Masalah itu ibarat fenomena gunung es, yang terlihat hanya puncaknya, padahal di dasarnya banyak kasus belum terdeteksi.

Kasus di atas terjadi akibat pengetahuan seks remaja saat ini sering tidak tepat guna. Tidak jarang, pengetahuan seks yang diperoleh hanyalah sebatas informasi belaka, bukan berupa pendidikan. Itu terjadi karena remaja tidak mendapatkan pendidikan seks di dalam sekolah atau lembaga formal lainnya. Akibatnya, keingintahuan yang sangat berlebihan mengenai seks didapatkan dari berbagai media yang salah. Berdasarkan survey sederhana Kisara tahun 2004, hampir 60 persen remaja SMP-SMA sudah melihat media-media porno, baik itu dari situs internet, VCD, atau buku-buku porno lainnya.

Untuk itu, orang tua selaku mitra bina utama para remaja yang notabene anak remaja sendiri hendaknya memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak dini. Orang tua harus menjawab dengan jujur dan tepat ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia anak, hingga tidak terjadi salah penafsiran. Karena itulah, orang tua dituntut membekali diri dengan pengetahuan cukup tentang seks dan psikologi remaja.

Rasa ingin tahu para remaja seringkali kurang disertai pertimbangan rasional akan efek lanjut perbuatannya. Hal ini terjadi akibat kurangnya kontrol orang tua dan minimnya pendidikan seks dari sekolah atau lembaga formal lainnya. Sementara itu, berbagai informasi seks dari media massa yang tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut dijadikan pedoman oleh remaja. Maka tidaklah mengherankan kalau akhirnya menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil remaja mengenai masalah cinta dan seks begitu kompleks. Akibatnya, timbulah gesekan-gesekan dengan orang tua maupun juga terhadap lingkungan sekitarnya.

Kenikmatan cinta dan seks di berbagai media mengakibatkan fantasi-fantasi seks berkembang cepat tidak terarah. Di sinilah titik rawan dan gejolaknya pun muncul. Dorongan seks remaja sudah dimulai sejak memasuki pubertas. Sementara saat itu, remaja masih bersekolah dan kemudian melanjutkan ke dunia kuliah sehingga belum memungkinkan siap diri dan matang secara mental untuk menikah. Akibatnya remaja menyalurkan dorongan seksual yang tinggi dengan melakukan masturbasi atau onani maupun HSPN.

Kehamilan remaja, pengguguran kandungan (aborsi), terputusnya sekolah, perkawinan di usia muda, perceraian muda, kriminalitas remaja, infeksi kelamin (IMS), penyalahgunaan narkoba serta HIV dan AIDS pada remaja terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap cinta dan seks saat remaja. Untuk itu, pendidikan seks bagi remaja SMP dan SMA sebaiknya diberikan agar remaja sadar bagaimana menjaga organ reproduksinya tetap sehat. Bagi siswa SMP dan SMA ditekankan pada abstinence atau puasa seks. Jangan melakukan hubungan seks jika belum siap bertanggungjawab!

Mustahil melarang remaja saling berinteraksi dengan lawan jenisnya. Proses interaksi yang lebih lanjut biasanya diwujudkan dengan berpacaran. Secara medis psikiatri merupakan hal yang wajar dan baik bagi perkembangan aspek kematangan emosional remaja itu sendiri. Namun, haruslah tetap ada rambu-rambu yang dipasang agar tidak terjadi berpacaran yang berlebihan, apalagi sampai melakukan hubungan seksual. Akibatnya, terjadi kehamilan yang tidak diinginkan sehingga memutuskan mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kasus aborsi di Indonesia sebanyak 2,3 juta pertahun. Sekitar 15-30 persen di antaranya adalah remaja. Itulah yang menjadi salah satu faktor penunjang yang mengakibatkan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Aborsi biasanya dilakukan oleh remaja wanita hamil, baik yang sudah atau belum menikah.

Beberapa alasan dilakukan pengguguran kandungan adalah tidak ingin memiliki anak sebab khawatir mengganggu sekolah, karier dan belum bisa bertanggungjawab. Selain itu, karena tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak dan sebagian lainnya karena tidak memiliki ayah (remaja pria tidak mengakui perbuatannya). Bahkan, alasan lain yang sering dilontarkan karena remaja masih terlalu muda atau akan menjadi aib keluarga.

Pendidikan seks yang benar dan disesuaikan kondisi masyarakat kita dapat mengurangi konflik dan mitos-mitos salah yang selama ini berkembang di masyarakat. Tentunya, setelah mengetahui kesehatan reproduksi dan risiko-risiko serta konsekuensi yang harus ditanggung jika melakukan hubungan seks di luar nikah, yang akan membuat remaja kita lebih berhati-hati dan menjaga dirinya, termasuk ketika memutuskan untuk berpacaran. Dengan adanya pendidikan seks, maka diharapkan mampu meningkatkan kemampuan intelektualisasi remaja.

Oleh karena itu, jadilah remaja bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kerjasama sinergis semua pihak dari orang tua, remaja, masyarakat (lingkungan) dan pemerinta untuk bersama-sama peduli terhadap remaja. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?