12/10/2006

Program Harm Reduction di Lapas Kerobokan

Program Harm Reduction di Lapas Kerobokan

[dr AA Gede Hartawan, Ketua Pokja Lapas Klas IIA Kerbokan Denpasar]

Hingga September lalu, lebih dari 50 persen warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Kerobokan berasal dari kasus narkoba. Tindak pidananya bermacam-macam. Ada yang karena penguasaan, pengedar, maupun pemakaian. Sekitar 50 hingga 75 warga binaan adalah bekas injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik (penasun). Data tersebut menunjukkan bagaimana prosentase mantan IDU di penjara terbesar di Bali.

Bagi penasun, berhenti menggunakan narkoba bukan hal mudah. Memang ada sebagian pecandu narkoba yang bisa berhenti begitu saja. Namun lebih banyak mereka yang bisa berhenti melalui program terapi rehabilitasi maupun substitusi. Karena itulah Lapas Kerobokan pun melaksanakan program bagi mantan pecandu ini. Slain dilaksanakan Kelompok Kerja (Pokja) Lapas Kerobokan sendiri, program ini juga dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba.

Program bagi mantan pecandu dilakukan selain untuk menghilangkan ketergantungannya pada narkoba juga untuk menekan laju penularan HIV di kalangan IDU. Sebab, sampai saat ini, penularan HIV di kalangan IDU masih yang terbesar. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali per September lalu ada 1136 kasus HIV/AIDS di Bali. Dari jumlah tersebut, penularan paling besar, sekitar 45 persen dari pemakaian jarum suntik tidak steril. Inilah pentingnya program bagi mantan pecandu di Lapas Kerobokan.

Program bagi mantan pecandu tersebut ada narcotic anonymous (NA) meeting yang sampai saat ini masih dilakukan Yayasan Permata Hati Kita (Yakita) Bali. NA meeting dilakukan sebagai tempat saling merawat bagi pecandu narkoba agar tidak kembali pakai narkoba (relapse).

Selain NA, pernah ada Cognitive Behavoiur Therapy (CBT) oleh Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). CBT adalah terapi untuk para pecandu yang perilakunya susah diubah. Perilaku yang harus diubah pecandu melalui CBT misalnya cara menghadapi keinginan untuk pakai narkoba lagi, cara mengatasi masalah, cara mengambil keputusan, atau hal lain di luar masalah ketergantungan.

Program yang hingga saat ini terus berjalan ada pula program rumatan terapi methadone. Methadone adalah obat yang dipakai sebagai pengganti heroin karena bahan dasarnya sama. Program methadone dilakukan selain untuk mengurangi ketergantungan pecandu secara pelan-pelan juga untuk menghilangkan kebiasaan pecandu menyuntikkan heroin. Program methdaone juga untuk mengurangi akibat lebih buruk (harm reduction) akibat menyuntik, misalnya penularan HIV.

Harm reduction merupakan upaya untuk mengurangi dampak buruk akibat pemakaian narkoba. Secara nasional, program ini sudah disepakati antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional serta beberapa anggota pemerintah daerah pada 19 Januari 2004 melalui Komitmen Sentani. Di Bali, Komitmen Sanur pun menyetujui adanya program ini. Beberapa kegiatan harm redutin ini termasuk di antara program pertukaran jarum suntik dan terapi substitusi methadone.

Dalam mengendalikan epidemi HIV di kalangan penasun, tak satu pun elemen tunggal yang akan efektif. Penanggulangan HIV ini harus dilakukan melalui semua kelompok paling kecil sekali pun seperti banjar, sekolah, hingga Lapas itu sendiri. Inilah latar belakang kenapa harm reduction juga dilakukan di Lapas Kerobokan. Sampai saat ini kegiatan yang dilakukan adalah terapi substitusi methadone. Sedangna pembagian jarum suntik steril tidak ada.

Rumatan methadone di Lapas Kerobokan dilakukan sejak Agustus 2005. Ketika baru dibuka sudah ada 56 klien yang ikut program ini. Total klien yang pernah ikut program ini 69 orang. Saat ini masih ada 42 warga binaan yang ikut. Untuk minum methadone, klien harus tepat waktu setiap hari. Program ini juga dilakukan sebagai pintu masuk bagi petugas kesehatan di Klinik Lapas untuk mengawasi kesehatan mereka.

Melalui program rumatan methadone, petugas kesehatan di klinik Lapas Kerobokan juga mengenal, melibatkan dan sebisa mungkin mengintervensi perilaku klien agar tidak tertular atau mengurangi risiko penularan HIV. Untuk itu maka petugas kesehatan juga masuk ke dalam kelompok klien, meningkatkan pengetahuan tentang penyebaran HIV pada klien, membantu klien menilai risiko mereka tertular HIV dan memberikan berbagai pilihan sebagai alternatif perilaku yang berisiko tinggi, mendukung terjadinya perubahan perilaku klien, serta mendorong keterlibatan klien dalam advokasi pencegahan.

Strategi yang diterapkan adalah menyadarkan warga binaan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Strategi ini dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan tentang HIV/AIDS. Misalnya apa itu HIV/AIDS, penularannya, pencegahan, hingga kesehatan reproduksi secara umum. Penyuluhan rutin ini diberikan oleh LSM penanggulangan AIDS, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, maupun Pokja Lapas sendiri. Tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman tentang HIV/AIDS. Selain itu juga untuk menghapus stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Strategi kedua adalah dengan menerapkan kesinambungan program. Penjara adalah tempat orang keluar masuk. Warga binaan sering kali berganti. Karena itu perlu adanya transfer pengetahuan tentang HIV/AIDS antar-napi. Dibentuklah peer educator atau pendidik sebaya. Warga binaan yang sudah mengerti tentang HIV/AIDS memberikan pengetahuannya pada warga binaan baru. Dengan demikian, program penanggulangan AIDS di Lapas akan terus berjalan. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?