12/17/2006

Melibatkan Petugas Kesehatan dalam NEP

Melibatkan Petugas Kesehatan dalam NEP

[Asep Hidayat, mantan pecandu, anggota Kelompok Dampingan Sebaya Addict+]

Needle Exchange Program (NEP) atau yang biasa di sebut program pertukaran jarum suntik (perjasun) sejauh ini masih dilakukan dengan cara-cara lama, yakni dengan metode penjangkauan. Program yang sudah dijalankan sejak 2001 ini pada awalnya menuai berbagai pendapat miring dari masyarakat umum yang memang tidak mengerti maksud dan tujuan program tersebut. Sebagian dari mereka menganggap bahwa program tersebut seolah-olah justru melegalkan praktek penggunaan narkoba dan mendukung pecandu narkoba suntik dengan menyediakan jarum suntik.

Di satu sisi program ini menghasilkan kemajuan dalam penanggulangan AIDS di Bali. Misalnya dengan makin mudahnya penjangkauan pada injecting drug user (IDU). Selama ini IDU merupakan kelompok yang termasuk susah dijangkau dalam penanggulangan AIDS dibanding misalnya pekerja seks komersial. Padahal hingga September 2006 lalu, IDU masih jadi penyumbang terbesar kasus HIV/AIDS dibanding kelompok lain. Adanya NEP membuat kelompok ini lebih diperhatikan.

Selain itu NEP juga jadi pintu masuk bagi perubahan perilaku junkie, sebutan lain bagi IDU. Banyak pecandu yang kemudian beralih ke substitusi heroin seperti Methadone dan Subutex. Dua zat ini jadi pengganti kebutuhan junkie pada heroin. Bahkan tidak sedikit junkie yang berhenti pakaw sama sekali menggunakan putaw. Dengan kata lain, NEP berperan dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Bali.

Namun tidak menutup mata juga bahwa masih ada sejumlah masalah dalam pelaksanaan NEP. Misalnya kesamaan pola dalam pelaksanaan NEP. Di Bali saja saat ini terdapat tiga LSM menjalankan Program Pertukaran Jarum Suntik. Mereka menggunakan strategi yang sama yakni melakukan penjangkauan ke lokasi-lokasi yang diyakini sebagai tempat nongkrong para junkie. Selain mendistribusikan jarum suntik steril, petugas lapangan (PL) sebagai pelaksana program dituntut untuk memberikan informasi tentang HIV dan tujuan dari program itu sendiri. Sehingga keberadaan pertugas lapangan ini juga harus memiliki pengetahuan yang cukup.

Sejak 2001 silam program pertukaran jarum suntik ini pun dinilai kurang efektif. Sebab masih rendahnya tingkat kesadaran pada junkie. Setelah mengikuti program ini mereka bukannya sadar terhadap kondisi kesehatannya, tetapi justru makin menjadi-jadi. Segala cara dilakukan, misalnya sejak 2005 lalu saat Kampung Flores diobok-obok polisi dan berhasil membubarkan pratek jual beli heroin. Hal ini tentu saja membuat para pecandu narkoba suntik jenis heroin ini merasa kewalahan untuk memperoleh heroin.

Namun entah karena tersedianya peralatan suntik, saat itu mereka beralih menggunakan bufrenorphine (Subutex) dengan cara disuntik. Padahal Subutex itu seharusnya digunakan dengan cara Sub-lingual atau dilarutkan dibawah lidah. Fungsinya adalah sebagai obat pengganti (subtitusi oral) heroin. Namun karena penggunaan dengan cara disuntikan tadi justru mengakibatkan masalah baru, mereka akhirnya menjadi ketergantungan Subutex.

Hal ini juga mengakibatkan para pecandu Subutex mengalami berbagai gejala penyakit yang sangat berbahaya, seperti penyempitan pembuluh darah, penyumbatan pembuluh darah, sampai dengan gangguan penglihatan yang diakibatkan penggunan Subutex dengan cara disuntikan. Seperti yang dialami Bagong (32), ia mengaku setelah putaw susah didapat di pasaran, kini ia berpaling ke Subutex. Dan ironisnya ia gunakan Subutex tersebut dengan cara disuntikan. Melihat prilaku tersebut, petugas lapangan, justru tidak melakukan upaya penyadaran kepada Bagong. Melihat prilaku Bagong, ia hanya bisa pasrah dan mengatakan bahwa semua itu adalah pilihan mereka. Lalu, sebenarnya apa tugas para petugas lapangan? Apakah hanya mendistribusikan jarum suntik steril? Atau mereka akan kehilangan klien jika para pecandu meninggalkan kebiasaan menggunakan alat suntik.

Seharusnya petugas lapangan yang menjadi pelaku program pertukaran jarum suntik, bisa melihat kesempatan yang ada setelah Kampung Flores diobok-obok polisi dan langka peredaran heroin menjadi langka. Bukannya membiarakan kliennya tetap menggunakan narkoba atau obat lainnya dengan cara disuntik. Hal ini secara otomatis upaya kepolisian untuk memberantas peredaran gelap narkoba dan menanggulangi masalah pecandu akan sia-sia saja. Di sisi lain pecandu yang tidak memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui jarum suntik akan memperoleh dampak yang sangat besar.

Untuk itu, saat ini marilah kita bersama-sama mengupayakan agar masalah peredaran gelap narkoba dan pecandu lambat-laun bisa diberantas. Alangkah baiknya jika program pertukaran jarum suntik ini dilakukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten di bidang kesehatan seperti dokter dan perawat. Dengan memanfaatkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai stelit program pertukaran jarum suntik, tentunya masalah pecandu terkait dengan masalah kesehatannya bisa teratasi dengan baik. Sebab dokter dan perawat memang mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan kegiatan menyehatkan masyarakat.

Selain itu juga dengan menyediakan layanan pertukaran jarum suntik di Puskesmas, para pecandu bisa berbaur dengan masyarakat umum. Dan yang terpenting adalah mereka mendapat layanan yang layak. Seperti halnya Jaakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia, saat ini sudah melakukan strategi tersebut yaitu memanfaatkan Puskesmas sebagai pusat pelayanan bagi pecandu. Dengan begitu pecandu akan semakin mudah untuk mengatasi masalah ketergantungannya dan setidaknya mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap masalah kesehatannya.

Adanya pelaksanaan NEP oleh petugas kesehatan akan membuat tidak ada lagi kegiatan pemberian layanan kesehatan yang terselubung seperti yang dilakukan oleh beberapa pelaksana lapangan peduli AIDS. Dan program pertukaran jarum suntik bisa tepat sasaran serta memperoleh hasil maksimal yang memang diinginkan oleh pemerintah saai ini. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?