11/16/2006

Menulis Berita HIV/AIDS yang Lebih Membela

Menulis Berita HIV/AIDS yang Lebih Membela

[Nanang Mubarok, penyiar Radio 911 Suara Janger Bali]

Dalam memberitakan HIV/AIDS, media massa masih terjebak pada eksploitasi kesedihan orang dengan HIV/AIDS (Odha). Berita tentang HIV/AIDS pun masih kurang. Cerita klasik, idealisme wartawan pun sering berbenturan dengan pengusaha dan pasar. Inilah bahan yang harus diubah, atau ya setidaknya dipikirkan pada momentum hari AIDS sedunia 1 Desember nanti.

Semua pekerjaan jurnalistik adalah intervensi. Demikian ditulis Annabel Mc Goldrick dan Jake Lynch dalam buku panduan bagi jurnalis untuk jurnalisme damai. Pilihannya kemudian adalah etika dalam intervensi tersebut- dan karena itu muncul pertanyaan, “Apa yang bisa saya lakukan dengan campur tangan saya untuk bisa mendukung terciptanya perbaikan?”

Wartawan yang meliput dan menulis masalah AIDS jelas tengah melakukan pekerjaan intervensi-bahkan sampai pada ruang yang begitu privat dalam kehidupan seseorang. Di sinilah diperlukan kematangan seorang wartawan dalam tingkat yang maksimum. Alasannya, menulis pemberitaan AIDS menuntut seorang wartawan benar-benar berdiri di tengah. Baik dalam angle maupun dalam bentuk tulisan.

Jika seorang wartawan menulis terlalu mengedepankan pada cerita duka seorang pengidap HIV misalnya, dia bisa terjebak pada eksploitasi kesedihan. Tulisan seperti itu memang menarik karena mampu membuat pembaca ikut berempati sekaligus bersimpati pada Odha. Namun masalahnya sekarang, Odha makin sadar bahwa dirinya bukan tidak ingin dikasihani atau bahkan diekploitasi kesedihannya.

Tokoh pers nasional Ashadi Siregar pernah mengatakan, jurnalisme yang perlu dikembangkan pada saat ini adalah jurnalisme yang berempati pada penderitaan orang, baik berasal dari struktur sosial maupun individual.

Ashadi ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya tugas wartawan adalah memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, wartawan dibimbing oleh nilai-nilai dan misi jurnalisme, yang tertuang dalam etika pemberitaan. Salah satu prinsip umum etika pemberitaan adalah mengutamakan kepentingan umum dalam pemberitaan.

Jika disimpulkan dalam kalimat sederhana, di sinilah letaknya sebuah idealisme pers dan idealisme jurnalis. Namun masalahnya dalam praktiknya ini bukan suatu hal yang sederhana. Dalam sebuah interaksi sosial pertarungan abadi antara idealisme dan kepentingan ekonomi selalu saja mengemuka.

Demikan juga dalam dunia pers. Saat pers sudah menjadi komoditas industri kapitalis, maka nilai-nilai idealisme sering kali menjadi pihak yang kalah. Mereka tunduk di lutut selera pengusaha media yang berorientasi pada selera pasar.

Nah, selera pasar Indonesia –paling tidak untuk saat ini- masih cenderung pada sesuatu yang berbau konflik apalagi dikemas bombastis. Makanya tidak salah jika sebuah survey mengatakan berita-berita yang disukai publik adalah berita yang berbau seks, darah (kriminal) dan gosip. Mungkin ini banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kondisi sosial masyarakat.

Dalam posisi seperti inilah, para wartawan lebih sering menulis pemberitaan AIDS dalam format yang mengedepankan aspek kuantitatif. Misalnya peningkatan jumlah penderita AIDS dari tahun ke tahun atau banyaknya remaja yang melakukan seks bebas atau pengguna narkoba dengan jarum, atau yang sejenis itu.

Wartawan tampaknya enggan menulis berita yang lebih mengedepankan aspek kualitatif, misalnya keberhasilan Odha bertahan hidup, mengasuh dan merawat anak-anaknya dengan normal.

Laporan-laporan semacam itu selain membutuhkan waktu panjang juga memerlukan wawancara yang mendalam dan kemampuan menulis yang baik dan biasanya dikemas dalam bentuk feature. Tulisan semacam ini memang membutuhkan keterampilan dan keahlian tersendiri.

Selain kendala waktu dan kemampuan, kendala lainnya adalah tidak semua media – teruma media koran harian -- yang menyediakan kolom untuk tulisan feature. Pengelola atau pemilik media beralasan jika tulisan seperti itu memerlukan banyak kolom sehingga tidak ekonomis. Ini berbeda dengan bentuk penulisan stright news yang hanya cukup dengan elemen dasar sebuah berita yaitu 5W + 1H. Waktu tenggat atau deadline yang mepet juga menjadi kendala tersendiri bagi wartawan untuk bisa meluangkan waktu menulis feature berkualitas. Apalagi menulis berita yang sifatnya investigative reporting.

Di sisi pembaca, dengan keterbatasan waktu lantaran kesibukannya, pembaca juga malas dengan tulisan yang panjang-panjang. Bahkan kebiasaan pembaca di kota-kota yang sibuk hanya membaca judul dan lead berita semata.

Tidak dapat dipungkiri pemberitaan AIDS oleh pers kita frekuensinya belum tinggi. Ada pendapat ini terjadi karena kasus AIDS belum banyak ditemukan oleh wartawan –selain kendala-kendala di atas. Salah satu bukti bahwa pemberitaan AIDS ini belum mendapat tempat yang layak dalam media adalah belum banyaknya berita AIDS yang menjadi berita utama dalam sebuah media cetak. Berita tentang AIDS selalu muncul di halaman dalam, itu pun dengan berita kecil dan pendek yang sama sekali tidak menarik minat khalayak untuk membacanya.

Kalau memang pendapat ini benar, ia tidak bisa menjadi alasan untuk tidak menyiarkan berita tentang AIDS. Kendati AIDS oleh Michael Foucoult disebut sebagai fenomena diskursif, yang bisa hilang dan berganti dengan fenomena lain, namun yang harus selalu dipahami oleh wartawan dan pengelola maupun pemilik media adalah sindrom AIDS sangat berbahaya.

Artinya, jika seluruh unsur pers, baik itu wartawan, redaktur, pemimpin redaksi sampai pemilik modal memahami betapa bahaya dan kompleksnya permasalahan HIV/AIDS maka tidak ada alasan untuk mengalahkan idealisme pers dengan kepentingan pasar dalam memberitakan masalah HIV / AIDS. [***]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?