2/08/2007

Resistensi HIV Ancam ODHA Bali

Resistensi HIV Ancam ODHA Bali

[Anton Muhajir, angota Komunitas Jurnalis Peduli AIDS Bali]

Tak hanya mata, masa depan Agung sebagai ODHA pun makin gelap.

Pandangan Agung, 34 tahun, makin samar. Mata kanannya sudah tak bisa dipakai melihat sama sekali. Mata kirinya makin dipenuhi titik hitam. Padahal pekerjaan bapak satu anak ini tergantung pada mata, selain kemampuan menyetir. Tiap hari Agung mengemudikan truk tangki bensin 5000 liter dari Pesanggaran, Denpasar Selatan ke berbagai industri pelanggannya. Tapi melihat benda berjarak lebih dari lima meter pun kini dia tak bisa melakukannya dengan baik. Dua bulan lalu dia pindah ke kursi sebelah, sebagai kernet. “Itu pun sering tak masuk,” katanya.

Agung mulai merasakan ada masalah di matanya sejak tiga bulan lalu. Menurut dokter yang memeriksanya, Agung terserang cytomegalovirus (CMV). CMV temasuk salah satu infeksi oportunistik (IO) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Agung positif human immunodeficiency virus (HIV), virus penyebab acquired immune deficiancy syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, akibat perilakunya bergantian jarum ketika masih aktif menggunakan narkoba.

Menurut teori, setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, IO akan dengan mudah menyerang ODHA. Salah satunya CMV yang menyerang bagian tubuh terutama mata dan mengakibatkan radang pada retina mata. Jika tidak segera ditangani, CMV dapat menyebabkan kebutaan total. Agung belum pada kondisi ini. Dia masih bisa melihat dengan mata kirinya meski kini penuh titik hitam yang terus bergerak. Tapi dia sudah pasrah. “Mau apa lagi?” ujarnya.

CMV menyerang mata pada ODHA dengan jumlah sel darah putih yang menunjukkan sistem kekebalan (CD4) di bawah 100. Berdasarkan tes terakhir, CD4 Agung hanya 19. Padahal pada orang normal CD4 berkisar antara 500 hingga 1.600. Rendahnya CD4 di tubuh Agung membuatnya rentan terkena IO. Dia pernah kena penyakit tuberculosis (TBC). Luka bekas operasi kelenjar TB di lehernya masih terlihat. Saat ini, selain CMV, dia juga terserang jamur (candidiasis). Sepanjang lengan dan sebagian wajahnya terlihat bercak putih. Dia berkali-kali menggaruknya.

Untuk menghindari terjadinya infeksi oportunistik, ODHA biasa minum anti-retroviral (ARV). Obat ini berfungsi menekan laju replikasi HIV di dalam tubuh. Agung sudah minum ARV sejak April 2004. Ketika mulai terapi, Agung minum duviral dan neviral. Tapi karena masih mengalami candidia, sejak enam bulan lalu, dokter menyarankan dia mengganti dua jenis tersebut dengan stavudin, nevirapin, dan lamivudin.

Menurut Yusuf Rey Noldy, konselor di Bali, agar terapi ARV berjalan optimal, ODHA harus patuh minum obat. Kepatuhan ini dilihat dari waktu minum obat yang harus tepat. Misalnya biasa minum obat pukul 9 pagi dan malam, maka tiap hari harus minum obat pada waktu yang sama. Selain waktu yang sama, obat ini juga harus diminum seumur hidup. Kalau pindah waktu minum atau lupa minum satu hari, maka ARV tidak akan berfungsi optimal menekan virus. Malah, HIV di dalam tubuh ODHA bisa resisten, kebal dengan ARV yang diminumnya.

Agung sudah berusaha agar tidak terlambat minum tiga pil tersebut. Selain dengan alarm di handphone, anak dan istrinya pun selalu mengingatkan waktu minum obat. Toh, meski sudah patuh, resistensi virus masih mengancamnya. “Mungkin karena telat minum obat,” Agung menduga. Dia sendiri mulai minum ARV setelah operasi TB kelenjar, salah satu infeksi oportunistik. Sebelum terserang TB kelenjar, dia tidak sadar kalau di tubuhnya ada HIV, bahkan sudah pada fase AIDS.

Agung tak sendiri. Frans, 30 tahun, mengalami hal yang sama. Mantan injecting drugs user (IDU) ini pun kemungkinan mengalami resistensi virus. Karena tahu positif HIV, Frans minum ARV sejak 2003. “Empat tahun pakai ARV, hasilnya tidak jelas,” katanya.
Tidak jelasnya hasil terapi itu bisa dilihat dari CD4 Frans. Menurut teori, terapi ARV berhasil ditandai dengan kenaikan CD4. Tapi terakhir kali cek ternyata CD4 Frans malah turun jadi 117 dari yang sebelumnya 172.

Selain melalui CD4, keberhasilan terapi ARV juga dilihat dari turunnya jumlah virus di darah atau viral load. Viral load di Frans memang pernah turun, dari 750 ribu copy jadi 85 ribu copy. Tapi terakhir tes, viral load-nya naik lagi jadi 120 ribu. Karena itulah Frans sangat yakin dia mengalami resistensi. “Padahal aku sudah patuh minum ARV,” ujar Frans yang juga konselor ini.

Frans mengaku pernah satu dua kali telat minum ARV. Tapi tak lama. Paling dari yang seharusnya pukul 7 pagi dia minum pukul dua jam kemudian. Itu pun, lanjutnya, hanya tiga atau empat kali selama empat tahun minum ARV.

Untungnya secara fisik Frans belum pernah –,”Dan semoga tidak,” katanya- mengalami infeksi oportunistik. “Paling ya flu ringan dan batuk-batuk. Itu kan biasa,” tambahnya. Berat badannya pun naik. Tapi resistensi toh masih mengancam Frans dan ribuan ODHA lain di Bali.

Menurut Yusuf Rey Noldy, juga petugas lapangan (PL) lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di kalangan IDU Yayasan Hatihati, resistensi bisa terjadi jika tidak ada respon terhadap penyakit maupun virus di tubuh ODHA yang ikut terapi ARV. Misalnya masih muncul IO meski sudah minum ARV, seperti terjadi pada Agung.

Resistensi terjadi akibat dua hal. Pertama akibat ketidakpatuhan ODHA minum ARV. Kepatuhan ini mulai ketepatan waktu minum ARV dan kemauan minum ARV selama hidup. “Sekali saja ODHA itu tidak minum ARV, maka ada kemungkinan virus di tubuhnya akan resisten,” kata Noldy. Pelanggaran terhadap kepatuhan ini terjadi akibat ketidaktahuan, ODHA bosan minum ARV, atau karena efek samping ARV.

Kedua resistensi juga bisa terjadi jika ODHA terinfeksi virus yang sudah resisten. Jadi ada virus yang sudah resisten pada satu ODHA lalu virus tersebut ditularkan pada orang lain. Virus di tubuh ODHA itu sudah jadi mutan sehingga imun (kebal) pada ARV yang diminum. Namun untuk tahu obat mana yang tidak berpengaruh pada HIV di tubuh, jalan satu-satunya adalah tes resistensi.

Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum punya fasilitas tes resistensi. Eri, 40 tahun, ODHA lain di Bali, harus mengirim sampel darahnya ke Australia untuk tahu apakah dia resisten atau tidak. Biayanya pun hingga Rp 4 juta sekali tes. Hasilnya, virus di tubuh staf yayasan penanggulangan AIDS di Denpasar ini memang imun pada nevirapine dan sidovudine, dua dari tiga obat yang diminumnya sejak dua tahun lalu.

Seperti halnya HIV dan AIDS itu sendiri, resistensi pada ODHA pun bisa jadi adalah fenomena gunung es. Kasus yang muncul hanya puncak yang terlihat dari kondisi nyata di bawahnya. Eri beruntung karena bisa melakukan tes resistensi sehingga bisa terlihat kalau dia mengalami resistensi HIV. Agung dan Frans masih menduga-duga meski kemungkinan resisten pada mereka juga besar. Tapi bisa jadi 4000 ODHA di Bali, berdasarkan estimasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali Desember 2006 lalu, juga mengalami ancaman yang sama.

Hal ini bisa dilihat dari ODHA yang berhenti ikut terapi ARV. Misalnya Ariawan, 41 tahun. Sejak Februari tahun lalu Ariawan berhenti minum ARV. Padahal dia sadar betul dengan risiko resistensi yang akan dihadapinya. Ariawan berhenti minum ARV karena merasa tidak kuat dengan efek samping. Delapan bulan setelah mulai terapi sejak September 2004, dia mulai merasa kurang darah. Hemoglobin, sel darah merahnya, jadi delapan dari yang sebelumnya 13. Dia pun berganti obat.

Namun meski sudah berganti obat, Ariawan masih merasakan efek samping. Kali ini dia sampai tidak bisa menggerakkan kaki saking kakunya. Dia kena kram (neuropati) pada kaki. Tiap bangun tidur, kakinya kesemutan. “Kalau digerakkan sakitnya bukan main,” akunya. Ariawan yang belajar banyak soal efek samping ARV itu sadar kalau terancam efek samping permanen. Dia pun memutuskan berhenti minum ARV. “Ini keputusanku. Aku siap dengan risikonya,” kata Ariawan.

Ariawan hanya satu dari belasan ODHA yang sudah berhenti terapi ARV. Menurut data Klinik voluntary, counseling, and testing (VCT) Rumah Sakit Sanglah Denpasar, hingga Januari lalu 23 ODHA sudah tak lagi minum ARV, 19 orang tak pernah mengambil ARV sedangkan empat lainnya memang mengaku berhenti minum ARV. Ada yang bosan ikut terapi. Ada yang tidak kuat efek samping. Ada pula yang mencoba obat alternatif.

Untunglah, meski sudah punya gejala resistensi, Agung dan Frans masih terus minum ARV. Mereka tak menyerah pada ancaman virus yang imun. “Saya hanya tidak mau orang lain mengalami resistensi seperti saya,” kata Agung.

Di kalangan LSM penanggulangan AIDS di Bali, resistensi memang sudah jadi bahan diskusi beberapa kali meski secara informal. Namun belum ada langkah antisipasi pada ancaman resistensi. Bali+, sebagai kelompok dukungan bagi ODHA di Bali, misalnya sampai saat ini belum pernah menindaklanjuti laporan adanya ancaman ini. “Memang sudah ada laporan, tapi kami belum pernah membicarakan di Bali Plus,” jawab Kadek Dharmawan, staf Bagian Pendampingan ODHA Bali+ ketika ditanya masalah resistensi.

Jawaban yang sama didapat Agung ketika dia menyampaikan masalah resistensi tersebut pada aktivis LSM lain di Bali. Padahal, menurut Agung, LSM seharusnya membantu dia sebagai ODHA. “Saya ingin teman-teman di yayasan bisa memperjuangkan adanya tes resistensi bagi ODHA. Tidak hanya sibuk dengan proyek yang mengatasnamakan ODHA tapi mereka sendiri yang menikmati hasilnya,” harap Agung.

Menanggapi keluhan tersebut Tuti Parwati, Koordinator Care, Support, and Treatment (CST) KPA Bali sudah berusaha mengantisipasi. Tuti, dokter penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali pada 1987, mengaku sudah mendapat laporan dari pasien maupun ODHA lain di Bali tentang ancaman resistensi tersebut. “Karena itu KPA Bali dan KPA Nasional sudah berkoordinasi dengan lembaga penelitian mikrobiologi di Jakarta yang meneliti masalah resistensi,” katanya.

Selain itu, lanjut dokter spesialis penyakit dalam itu, KPA Bali juga sudah mengajukan proposal agar ada yang bersedia memberikan tes resistensi gratis bagi ODHA. “Kalau KPA Bali yang mebiayai, aduh, itu besar sekali,” ujar Tuti.

Sambil menunggu proposal itu disetujui, Agung dan ODHA lain tetap harus berjuang sendiri menghadapi ancaman resistensi. [***]

-versi bahasa Inggris tulisan ini, dengan editing di beberapa bagian, dimuat The Jakarta Post [8/2].

Comments:
hallo aq salah seorang teman Odha di Bali yang pingin ngasih komentar dikit tentang masalah beberapa temen yang putus terapi ARV.
bebirbicara mengenai obat mungkin bagi sebagian orang adalah sangat membosankan,apalagi jika obat yang kita minum tersebut dengan jumlah yang banyak sangat melelahkan bukan!! belum lagi obat yang kita minum harus diminum sewumur hidup.
ya inilah yang terjadi oleh beberapa teman Odha, tapi walaupun hak Odha untuk memutuskan terapi ARV tetapi ini sangat disayangkan. kenapa? teman-teman Odha pada waktu akan memulai terapi ARV pastinya sudah diberikan informasi tentang dampak yang ditimbulkan apabila Odha memutuskan terapinya. tetapi mengapa hal ini mesti terjadi disaat teman2 Odha sudah memulai terapi berjalan? apakah teman2 Odha merasa tepaksa terapi ARV? atau mungkin teman2 Odha merasa sudah "sehat" sehingga tidak membutuhkan ARV lagi? cobalah lebih realistis kawan, semua komponen di masyarakat termasuk pemerintah sudah berjuang untuk mendapatkan akses bagi teman-teman Odha, tapi mana kewajiban teman2 Odha untuk mendukungnya. jangan sampai apa yang sudah kita perjuangkan selama ini malah justru dianggap bukan mewakili aspirasi teman2 Odha. banyak yang masih membutuhkan dukungan pengobatan, jangan sampai informasi tentang teman2 Odha yang putus terapi ARV ini menjadi trend baru dikalangan Odha. saya sungguh2 sangat MENYAYANGKAN!!.
bisa kita bayangkan dampaknya bagi teman2 odha yang akan memulai ARV ketika melihat atau mendengar mengenai bebeapa odha yang memutuskan terapi melihat keadaan mereka yang mungkin pada saat ini masih baik2 saja, tentunya teman odha yang akan memulai terapi AERV akan mepunyai berbagai macam pertanyaan. "Odha yang putus terapi ARV tsbt baik2 aja kok, kenapa aku harus minum obat ini seumur hidup ya sedangkan dia gak minum kok baik2 aja? dan masih banyak pertanyaan yang akhirmya membuat odha yang seharusnya membutuhkan pengobatan menjadi berpikir lagi untuk memulai terapi. apakah ini yang teman2 mau?
mengenai teman2 odha yang memang sudah memutuskan untuk tidak menggunakan ARV itu merupakan hak teman2 sebagai pribadi karena teman2 pun sebenarnya sudah tahu dampak yang terjadi. hanya saja infomasi mengenai teman2 odha yang tidak lagi menggunakan ARV jangan sampai disebarluaskan ke teman2 odha di lapangan, ini malah menjadi menyesatkan!! apa yang terjadi dengan teman2 odha yang memutuskan tidak menggunakan ARV cukup anda dan dokter saja yang tahu jangan lagi menyebarkan informasi yang sadar maupun tidak sadar malah menyesatkan banyak odha!! sangat disayangkan sekali apabila yang menyebarkan informasi ini adalah teman2 yang bergabung di LSM. tentunya teman2 sudah paham benar mana yang harus dibicarakan dan mana yang harus tidak kita bicarakan.
tulisan ini untuk mengingatkan bahwa pilihan hidup memang ada di tangan masing2 individu, tetapi jangan sampai pilihan kita buat justru membuat oranglain menjadi ikut2an. biarkan masing-masing pribadi kita yang memilihnya karena apa yang kita putuskan nantinya akan kita rasakan sebagai pilihan hidup.
bagi teman odha yang masih terapi ARV jangan pernah menyerah, pilihan hidup ada ditangan kita, bukan ditangan oranglain. selagi kita merasa nyaman dengan pilihan kita mengapa kita harus memilih pilihan oranglain yang belum tentu cocok buat diri kita!! percaya dan yakin bahwa apa yang kita pilih adalah pilihan yang terbaik buat kita. mengenai hidup dan mati tentunya bukan kita yang menentukan tetapi ada kekuatan yang lebih tinggi yang menentukannya.
"JUST FOR TO DAY".
 
Klo bisa sih mungkin harus ada rumah sakit atau dimanapun yang melayani odha agar bisa buka saat malam hari... Terutama untuk pengambilan arv.. Soalnya klo cuma sampai jam 3 sore... Trus hari senin - jumat pula agak susah sih pengambilan arvnya.. Klo bisa biar pengambilan arvnya bisa sampai jam 8 malam lah... Biar nggak mengganggu pekerjaan... Kan klo jam 9-15 kadang pusing mikirin cara ngambil arvnya... Trimakasi...
 
Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?